Hari - hari telah berlalu, tak terasa Hujan akan menghadapi penghujung desember yang terasa semakin membeku, tak terkecuali hatinya. Dia semakin merindukan sang kakak kandung. Walaupun dirinya berkata benci pada Awan karena kakaknya itu ingkar janji padanya selama 3 tahun terakhir, anak itu benar - benar tidak bisa melakukannya. Dia butuh Awan, dia merindu.
Hari ulang tahunnya akan segera menyapa. Dan itu artinya, umurnya akan semakin bertambah menjadi angka tujuhbelas yang menandakan dirinya akan semakin beranjak dewasa, meninggalkan masa remajanya yang memilukan. Selama 3 tahun ini, Hujan belajar sendirian, makan sendirian, menelan permennya sendirian, dia melakukan segalanya tanpa orang lain. Anak itu merasa kalau dirinya sudah tidak membutuhkan Awan lagi di sisi hidupnya. Tetapi apa daya. Itu hanyalah sebuah alibi konyolnya agar dia tidak memikirkan kakaknya yang sekarang entah berada di mana. Apakah jika Hujan memikirkan Awan, Awan akan juga memikirkannya? Dia pikir merindukan Awan itu hanyalah buang - buang waktu.
Hujan tidak menginginkan kado yang istimewa untuk hadiah ulang tahunnya. Kini pemuda itu bukanlah seorang bocah yang akan meminta mainan pesawat jet besar, atau sebuah sepeda baru untuk kado ulang tahunnya. Permintaannya hanyalah permintaan yang sederhana. Cukup berikan presensi Awan di sini, tersenyum padanya sembari membawa beberapa tangkai Bunga Tulip dan merengkuh tubuhnya.
Hah, itu hanyalah angan Hujan yang terlalu memuncak. Bahkan, dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menghubungi Awan dan meminta pria itu agar menemuinya saat lusa. Hujan pikir, mungkin Awan sudah bahagia tanpanya.
Dan saat ini, ketika lusa itu datang, saat Niswa dan Dirta menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan kedua tangan memegang kue tart di tangan Niswa, Hujan tidak bereaksi apa - apa. Dia tidak butuh kue, dia tidak butuh nyayian selamat ulang tahun. Dia hanya membutuhkan kakaknya di sini untuk mendekapnya.
Namun, dia sadar. Membayangkan Awan yang merengkuhnya di sini hanya semakin membuat batinnya sakit. Akhirnya, anak itu tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca bergantian menatap iris Niswa dan Dirta. Hujan berdoa, menutup kedua kelopak matanya lantas kembali membuka dan meniup lilin berangka 17 itu.
"Terima kasih atas segalanya, Kak Dirta, Kak Niswa. Kalian memang terbaik." Hujan mencomot kue tart itu, menyantapnya lahap. Menyuap masing - masing satu potong ke mulut Niswa dan Dirta bergantian. Dia merasa sangat bahagia walaupun ada rasa sedih di dada karena dirinya menginginkan kehadiran Awan di sini. []
Maaf kalo chapter ini membosankan. Di chapter selanjutnya aku akan berusaha bikin yang lebih ngefeel. Tetap cintai cerita ini, yaa!
Btw pada nanya Awan ke mana. Haha, sabar ya. Gak lama lagi Awan muncul kok ehe :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Semi : Awan dan Hujan
FanfictionHujan percaya kalau Awan tidak akan mungkin mengingkari janji yang telah mereka buat bersama. Dia pasti akan menunggu kakaknya kembali, menjemputnya di suatu hari saat musim semi tiba. Ya, kakak pasti akan menjemputnya. Pasti. 2018 © dyowaseul