12. Kerinduan Sang Kakak

1K 192 23
                                    

"Wah, lihat! Si Brengsek dari mana yang kini berdiri di hadapanku?"
Dirta mendecih. Dia sengaja berlagak sok angkuh di depan Awan dengan mendongakkan kepala setinggi mungkin, memasukkan kedua tangan ke saku celananya, serta menatap wajah Awan dengan penuh raut kebencian yang mendominasi.

"Maaf."

"Hah," dokter itu terkekeh keras, "Maaf?"

"Minta maaflah pada adikmu. Jangan meminta maaf padaku."

"Juga, terima kasih, Dir. Terima kasih karena telah merawat adikku selama ini."

"Ya, memang seharusnya kau berterima kasih padaku."

"Boleh antarkan aku ke ruangan Hujan? Aku benar - benar merindukannya."

Dirta mengepalkan tangannya di balik saku celana. Dia berusaha mati-matian menahan luapan emosi yang tiba - tiba saja ingin keluar dengan tertawa lagi. "Oh, tentu saja. Lewat sini."

  
« Musim Semi »
 
 

Pintu ruang rawat Hujan berderit, memamerkan presensi sebuah ranjang putih bersepreikan kain berwarna biru langit, sangat rapi. Seperti tidak ada yang menidurinya. Awan dan Dirta melangkah, duduk di sofa dekat dengan ranjang itu.

Awan menaruh kopernya di sisi samping sofa lalu menaruh bunganya ke atas meja. "Adikku kemana? Kenapa dia tidak ada di sini?"

Dokter itu berdehem. "Awan, aku tidak tau harus bagaimana untuk mengatakan hal ini padamu." Dirta membasahi bibirnya yang kering itu menggunakan lidahnya, "tetapi adikmu sudah pergi."

"Pergi? Apakah dia pergi ke taman?" Pria yang lebih muda setahun dari Dirta itu mengernyit bingung. Dia menjelajahi muka Dirta hendak meminta jawaban. Berdiri melangkah menjauh dari sofa, "Aku akan ke sana."

"Dia sudah meninggal."

Langkah tungkai Awan terhenti, begitu pula dengan tangannya yang semula telah meraih daun pintu. Pria itu berbalik, memasang ekspresi yang tak dapat ditebak sama sekali oleh Dirta.

"Dirta, jangan berlawak." Awan maju, terus melangkah hingga dia tepat berdiri di hadapan Dirta. Pemuda itu menarik kemeja pemuda yang satunya lagi dengan erat, membuat korbannya sontak berdiri. "katakan, di mana adikku?!"

Merasa kerah kemejanya digenggam kuat oleh Awan, Dirta memundurkan langkahnya. Memasang ekspresi garang, "Awan, kau tahu 'kan kalau aku ini adalah seorang dokter?"

"Ya, aku tahu." Awan kian menarik kerah itu ke atas, "lalu, apa peduliku?"

"Tentu saja kau harus peduli." Dokter itu merasa napasnya bertambah tercekat, kekuatan Awan saat mencekik kerah lehernya tidaklah main - main kerasnya.  "karena aku tidak pernah membuat lawakan tentang kematian pasienku."

Gigi kakak kandung Hujan itu menggertak. Dia menghempaskan tubuh Dirta dengan keras, membuat gaduh keluar dari bibir Dirta. Bahkan dokter itu terbatuk - batuk sambil memegangi lehernya, "Aku tidak bercanda, Awan. Adikmu memang benar - benar sudah tiada. Dia sudah meninggal! Me-ning-gal!"

Dokter muda itu menekankan kalimat terakhirnya. Dia bahkan berteriak dengan suara lantang, menusuk indra pendengar an Awan.

"T-tidak, kau pasti mengecohku. Iya 'kan?" Awan menangis, bulir air matanya merosot jatuh ke pipi hingga dagunya, "Dirta," dia terisak, "Kenapa kau tidak memberitahu aku lebih cepat, Bajingan!"

Dirta bangkit dari posisi terhempasnya, menepuk bajunya yang terkena debu akibat terjatuh tadi. Pria itu tergelak keras hingga suaranya memenuhi seisi ruangan, "Memberitahumu?" Dia mendecih, "Hei, keparat, bahkan aku tidak tahu bagaimana cara untuk menghubungimu." Dia tertawa lagi, "Aku sudah berkali kali menelponmu, mengirimkanmu banyak pesan, bahkan email sekalipun. Tapi apa?" Dirta beranjak pergi untuk kembali duduk ke sofa, menyilangkan sebelah kakinya ke atas kaki satunya lagi. "Kau tidak pernah menjawab teleponku apalagi membalas pesanku. Hah, sialan."

Awan tertohok. Dia masih menangis dan siap menonjok muka tampan sahabatnya namun dia tahan. "Aku, a-aku,"

"Apa? Bukankah kau memang sudah menganggap adikmu itu telah mati?" Dirta bangkit, gantian menarik kerah baju Awan, "Dia sangat merindukanmu, brengsek! Setiap hari dia bertanya padaku, kapan kau menjemputnya? Kapan? Kapan?!" Pemuda itu ikut menangis, "Bahkan aku tidak tahu harus menjawab apa! Apakah kau pernah memikirkanya sekalipun seperti dia memikirkanmu disetiap harinya?! Jawab aku, brengsek! Jawab!"

Lawan bicara Dirta bergeming. Dia menghirup udara dalam sebelum berkata, "Di mana kau memakamkan Hujan?"

"Tolong, tolong antarkan aku ke sana."

Dirta mendecih, menatap nyalang pada  wajah sahabatnya. "Untuk apa? Untuk memberikan sebuah kalimat terimakasih padanya karena adikmu itu telah pergi lebih dulu?!"

Awan terdiam.

Jika saja Dirta tahu kalau dirinya salah besar. Dulu, sesuatu yang buruk memang sudah mengakar kokoh di hati Awan kepada Hujan. Tetapi sang kakak bukanlah seorang yang akan berbuat demikian pada adiknya sendiri. Patutnya Dirta mengetahui isi hati Awan, kalau pria itu juga sangat merindukan adiknya. Sangat merindu.

"Apa makamnya tepat berada di samping makam ayah dan ibuku? Baik, terima kasih banyak karena sudah memakamkannya. Aku akan kesana sendirian." []

 
  
  
 
  Seperti yang aku bilang di post pesanku, hari ini aku update lagi. Yeayy, 3 hari berturut-turut :-)

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang