11. Awan Telah Kembali

1K 191 18
                                    

Suara gesekan ban besi dan rel kereta seolah - olah menjadi buaian melodi yang elok untuk Awan pada awal maret, diawal musim semi kali ini. Dia tersenyum menatap keluar jendela kereta, menampak bunga-bunga berwarna pink indah yang telah bermekaran di luar sana. Ekor mata Awan tak henti - hentinya menilik pohon di sepanjang perjalanannya untuk kembali menemui Hujan, sang adik.

Udara dingin telah sepenuhnya sirna, bertukar menjadi kehangatan yang seakan turut menggembirakan hati pemuda itu. Netranya mengerling pada sebuah jam tangan, lagi - lagi tersenyum untuk kesekian kalinya. Dia sudah tak tahan untuk menyuarakan suara hatinya terhadap Hujan, kalau dia benar - benar merindukan adik terkasihnya.

Lelah berada di dalam kereta selama kurang lebih 3 jam, alhasil Awan telah berdiri megah di sini. Di tempat ramai bernamakan stasiun kereta dikota kelahirannya dan Hujan, kota dimana dia meninggalkan Hujan sendirian. Dia menyeret kopernya berlalu dari sana, hendak segera bertolak ke toko bunga untuk membawakan pesanan adiknya.

"Bisa tolong berikan satu rangkai besar bunga tulip?"

Wanita itu hanya mengangguk sambil menyunggingkan bibirnya, lekas menyiapkan permintaannya.

"Ini pesanan anda."

"Terima kasih."

Pemuda itu meraih rangkaian besar bunga tulip berwarna putih, menghidu aroma semerbak yang menyempal keluar dari bunga indah tersebut. Dia lantas kembali menyeret kopernya, berlalu dari sana.

"Hujan, tunggu aku sebentar lagi.
Hanya beberapa menit lagi aku akan kesana untuk melihatmu.
Aku akan datang untukmu, Hujan."

  
  

« Musim Semi »


   
  

Awan mendesah. Ia mengusap wajahnya frustasi ketika memandang bangunan tinggi berlantai lima di hadapannya kali ini. Dia sangat merasa bersalah pada Hujan, sebab dia memutuskan untuk meninggalkan adiknya itu sendirian di tempat ini. Dia melakukan hal itu bukan tanpa alasan. Pemuda itu merasa tak mampu untuk merawat dan menjaga Hujan sendirian di tengah emosinya yang tidak stabil.

Awan bukanlah ingin lari dari tanggungjawabnya sebagai kakak. Dia bukannya ingin membuang adiknya karena tahu anak itu penyakitan. Tidak, itu salah. Itu tidak benar. Dia hanya tidak ingin melihat wajah adiknya yang selalu melukiskan gurat kesakitan, dia hanya tidak ingin Hujan melihat airmatanya jatuh tatkala tubuh Hujan rubuh tepat di depannya seperti tiga setengah
tahun yang lalu.

Dia bukannya bersenang - senang setelah menitipkan adiknya di sana. Awan hanya berusaha untuk sejenak melupakan adiknya yang tengah sekarat dengan sibuk bekerja hingga larut malam agar dia tidak punya waktu untuk memikirkan Hujan yang ada di sana.

Namun, ketika Awan menemukan sebuah foto yang menampilkan sosok dirinya dan Hujan yang sedang tersenyum renyah di dalam sebuah album, hati Awan memanas.

Ia merindukan Hujan, adik kecilnya yang ia telantarkan di sebuah rumah sakit bersama sahabatnya, Dirta.

Pria itu tidak pernah menjenguk adiknya selama 3 tahun ini. Bahkan, dia tak pernah menghubungi Hujan sama sekali. Tidak pernah. Ia tidak tahu bagaimana dengan wajah adiknya, apakah tubuhnya sudah bertambah tinggi, ataupun senyum kotaknya yang masih ada setia merekah di bibirnya. Awan tidak tahu.

"Ayah, ibu, maafkan aku karena telah melupakan tanggung jawabku untuk menjaga Hujan. Aku benar - benar minta maaf." 

« Musim Semi »

"Dokter Dirta, seseorang ingin bertemu denganmu."

Dirta meletakkan sendoknya ke atas meja. Dia mengelap bibirnya menggunakan sehelai tisu, "Siapa?"

"Pak Awan."

Dokter itu menggingit bibirnya keras. Dia kini membanting sumpitnya, terkekeh keras hingga terbahak - bahak namun matanya berkaca, menutup mulutnya dengan kepalan tangan. "Baik, terima kasih. Dia ada di mana?"

"Lobi."

Mendesis pelan, Dirta tengah memenuhkan otaknya dengan berbagai pemikiran. Semuanya terasa berputar mengelilingi kepala. "Apa Awan benar-benar telah kembali?" []

  
  
  
  
  
  
  
  Hehe, lagi pengen fast update aja :'))

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang