21. Memori Indah yang Terakhir

760 145 18
                                    

Awan dan Hujan terduduk di bawah jembatan dengan sungai di hadapan. Matahari perlahan turun, sinarnya pelan menghilang, berganti menjadi remang. Suara jangkrikpun kian terdengar merdu --bersahutan, deru mesin kendaraan turut mengudara dari atas jembatan. Melodi yang indah sebagai peneman keheningan pada malam yang mulai merangkak naik ini, mencoba mengikis suhu dingin yang semakin turun.

"Es krimnya enak sekali." Hujan mengemut es krim stroberinya dengan gelojoh, meninggalkan bekas lelehan krim berwarna pink di sudut bibirnya. "Tapi Kakak cuma membelikan satu untukku. Sudah pembohong, pelit lagi."

Awan hanya bisa tertawa. Pun dia ikut menyantap es krim cokelat miliknya dengan bulan sabit tercipta di kedua mata. "Tidak boleh makan es krim banyak-banyak." Dia mendekatkan bibirnya pada telinga Hujan, berbisik di sana. "Nanti kau bisa gendut. Tidak langsing lagi."

Haha, lawakan garing. Bahkan Hujan sebenarnya ingin sekali mengembalikan berat badannya seperti dulu. Dulu sekali.

Lalu Hujan hanya bisa tersenyum simpul. Tetap menikmati es krimnya, walaupun lidahnya terasa membeku karena dingin bukan main. Udara di sini sangat sejuk, tetapi mereka berdua malah memakan es krim. Dasar aneh.

Kendati begitu, sang adik tetap menyungkah benda manis nan dingin tersebut. Menatap kelap-kelip cahaya lampu yang menggantung di jembatan bersamaan dengan kilauan dari kendaraan yang berlalu-lalang di atas sana. Senyumnya mekar. "Terimakasih atas hari ini, Kak." Menoleh pada Awan, tawanya merekah lebar, "Hari yang hebat. Sungguh menggembirakan."

Senyum Awan ikut mengembang. Es krim miliknya sudah hampir habis dia santap, hanya tinggal seperempat batang lagi. Kemudian tangannya terangkat, meraih mahkota hitam legam milik Hujan, lalu mengelus lembut. "Hm, itu benar. Hari ini Kakak bahagia sekali bisa bermain seharian bersamamu. Kakak jadi menyesal karena tidak melakukan hal se-menyenangkan ini sedari kita kecil dulu. Maaf."

Sabit di wajah Awan meredup, air muka penyesalan tercetak jelas. Lantas Hujan bergumam, "Tak apa, aku mengerti. Kau dan aku, kita, punya jalan yang berbeda sedari dulu. Kau sibuk dengan duniamu, dan aku sibuk juga dengan duniaku. Kita sama-sama sibuk dengan dunia kita masing-masing. Bahkan aku tidak tahu mengapa bisa jadi begitu. Maafkan aku juga, Kak."

Ah, bedebah. Kenapa situasinya jadi melow begini?

Tidak. Malam ini, tidak boleh ada satupun kesedihan yang terselip diantara celah Awan dan Hujan. Mereka harus menjadikan hari ini indah dengan penuh kebahagiaan yang tercipta seharian penuh. Lalu masih dengan es krim yang tersisa sedikit lagi, Hujan mendelikkan matanya. Mengumpulkan cahaya redup ke retina, pun tawa jahil menyempil di bibirnya. Dia mengangkat sebelah tangan yang menggenggam erat batang es krim dengan tinggi-tinggi, menoreh noda berwarna merah muda itu ke wajah Awan dengan secepat kilat. Mulutnya terkatup rapat, lalu tangannya menutupinya. "Ups, maaf."

Sontak, Awan melotot. Merasa terkejut sekaligus dongkol. Wajahnya yang sudah terasa dingin akibat suhu udara yang turun drastis malam ini malah seakan-akan membeku saja ketika Hujan berhasil mengerjainya lagi. Mukanya jadi belepotan dengan krim stroberi, malah tepat merada di ujung hidungnya. Dia meraih alat pernapasannya itu, menekan pelan, "Ah, adikku jahat sekali. Kupikir mataku sebentar lagi akan menangis saja karenanya. Ya Tuhan, tolong maafkan dia."

"Tuhan pasti memaafkan adikmu, Kak. Aku yakin itu."

Gelak Hujan pecah malam itu. Mengalahi suara jangkrik yang bernyanyi merdu bersama kawanannya. Dia mengelus perutnya yang terasa kram, tawanya berterbangan ditelan oleh udara. "Maaf, Kak." Tangannya menyembul ke paras Awan, mengelap hidung kakaknya. "Sebenarnya, kau tampan dengan sesuatu yang berwarna pink seperti itu di wajahmu." Tersenyum sampai jejeran giginya terpancar, bahkan terlihat sangat manis sekaligus menggemaskan. "Ah, sayang sekali. Jadi tidak tampan lagi."

Awan ikut tergelak. Adiknya selalu saja bisa membuat lelucon di tengah kesedihan yang perlahan datang pada dirinya. Dia pasti akan merindukan segalanya. Pasti, di suatu hari nanti. Walaupun dia tidak tahu kapan di suatu hari itu, tapi dia ingin tetap mengenang senyum Hujan, tawa Hujan, suara Hujan, serta lelucon adiknya itu. Dia harus menyimpan semua itu dengan memori yang tak akan pernah terformat, tiada pula pernah terhapus barang satu saja. Karena, dia sangat takut kalau dia harus kehilangan semuanya tentang Hujan. Awan sangat gamang.

Sang adik menaruh kepalanya di bahu sang kakak, dia menyender di sana. Lalu kembali menatap kelap-kelip di depan. "Kalau kau mau tahu, sebenarnya aku kelelahan, Kak. Tapi, lelahku tak seberapa dibandingkan dengan kebahagiaan yang baru saja aku dapatkan darimu." Mata Hujan mengatup sebentar, "Aku mengantuk. Pinjam bahumu sebentar, ya?"

Gelak meluncur bebas dari bibir Awan. Dia membersihkan hidungnya yang sempat kotor akibat ulah Hujan. Suara tawanya menyatu dengan udara yang semakin mendingin, menusuk kulit. "Kita benar-benar seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan sekarang."

"Haha, hm."

"Oh iya," Awan teringat sesuatu. Mengambil benda di saku celana, lalu handphone menyembul di sana. "Kalau sedang berkencan, kita harus berfoto bersama. Bukankah begitu? Biar bisa dipamerkan pada orang lain."

Mata Hujan yang tadinya terkatup sontak mekar begitu saja ketika kalimat Awan menyapa telinganya. Lantas dia merapihkan rambutnya yang berantakan, kembali menegakkan kepala, "Oke. Ayo berfoto!"

Ponsel Awan terangkat, lalu kepala Awan dan Hujan menempel. Hujan dengan bibirnya yang terbuka --menampakkan jejeran giginya dan dua jarinya menempel di sekitar mata. Sedangkan Awan dengan pose tersenyum ala mata sabitnya, dan...,

cekrek!

Perfect!

"Sekali lagi, Kak!"

Cekrek!

"Lihat yang ini!" Hujan menggapai ponsel kakaknya yang sedang Awan pegang, lalu dia menunjuk foto mereka yang tengah tersenyum lebar. "Aku imut sekali, 'kan? Nanti, kau harus mencetaknya dan menaruh foto kita di kamarmu, oke?!"

"Siap! No problem, bro!"

Anak itu terbahak. Mengelus tangannya terasa dingin akibat udara yang menusuk kulit, terbatuk-batuk sebentar. "Ah, aku tidak tahan. Di sini dingin sekali."

"Sebentar," Awab membuka zip jaketnya, lantas melepas dan menyampirkan kain tebal penghangat tubuh itu ke tubuh sang adik. Hujan tertawa lagi. Entah mengapa tiba-tiba saja anak itu merasa kalau dia adalah seorang gadis yang sedang dikencani pria idaman.

Ketika tangannya meraup wajah, turun untuk menutup mulut karena mulutnya menguap --menandakan kalau dirinya mengantuk, mata Hujan sontak membola begitu saja.

Dia menemukan sesuatu di sana.

Darah, itu darah! []

 
  
  
 
 
Surprise!❤️





Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang