1. Apel Merah

2.8K 268 28
                                    

"Kak Dirta mau apel? Aku punya banyak." Hujan tersenyum manis menatap seseorang yang berada di hadapannya. Dia menyodorkan sebuah apel yang tadinya tersimpan apik di dalam saku baju biru bermotifnya, mengisyaratkan agar seseorang itu lekas menerima.

Dirta pun membalas senyumnya. Pria dewasa yang baru saja berumur 27 tahun itu meraih sebuah apel merah dari genggaman Hujan, mengucap terima kasih lantas mengerkah Si Merah yang Manis itu dengan gigitan yang besar. Dia tetap tersenyum walaupun bibir tebalnya menari lucu di sana.

"Dari mana kau mendapatkannya? Ini manis sekali."

"Thaliqa yang memberiku. Dia membagi 3 buah apel merahnya padaku sebagai hadiah perpisahan sebelum dia dijemput oleh ibunya tadi pagi."

Dirta hanya memanggut-anggut, kembali menggigit apel untuk yang kedua kalinya. Namun entah mengapa dia merasa kalau matanya tiba - tiba memanas. Bukankah Thaliqa sudah bahagia karena telah dijemput oleh sang ibu? Tetapi mengapa Dirta malah merasa seperti ini?

"Kak?"

"Eung?"

Pria dewasa itu berhenti mengunyah. Dia menelan bulat - bulat gigitan apelnya yang belum lumat dengan sempurna, mendekatkan bokongnya pada Hujan yang duduk sembari menundukkan kepala. "Ada apa?"

"Apa... Kak Awan...," ucapan anak itu terputus. Kepalanya menggeleng dan dia lagi - lagi menampilkan senyum andalannya, "Ah, bukan apa - apa. Tidak jadi, hehe."

"Kakak tahu kau ingin mengatakan sesuatu tentang Awan. Tak apa, berceritalah pada kakak. Kakak akan mendengarkanmu, Jan."

Hujan, remaja berumur enam belas tahun itu hanya bisa menyedot oksigen yang ada di sekitarnya dengan serakah, melumat bibirnya sendiri karena dia sangat merasa tertekan akan perihal kakak kandungnya. Dia menengadahkan kepalanya, kembali memandangi muka Dirta. "Ini akan menjadi musim semi yang ketiga setelah Kak Awan meninggalkan aku sendirian di sini."

"Lalu?"

"Aku hanya..., aku hanya merasa kalau--"

"Awan tidak menyayangimu?"

Dirta menaut tubuh adiknya, memeluk begitu erat. "Awan tidak pernah begitu, Jan. Dia pasti akan menemuimu sebentar lagi. Percayalah padaku."

Ya, itu pasti akan terjadi. Walaupun Hujan tidak tahu kapan suatu hari di musim semi itu, Kak Awan pasti akan menarik tubuhnya menjauh dari sini. Tetapi, dia jemu. Mengharapkan Awan yang tak kunjung datang ke sini membuat emosinya memuncak. Dia bingung dan selalu bertanya - tanya pada dirinya sendiri. Apakah Awan masih menyayanginya? Apakah Awan masih mengingat dirinya yang semakin merasa memilukan di sini, ataukah..., Awan sudah melupakan janji yang ia kaitkan dengan Hujan? Anak itu tidak tau. Dia muak dengan berbagai prasangka yang diciptakannya.

"Ya, aku percaya pada Kak Dirta."

Simpul di kedua belah bibir sang kakak terkait. Dia mengacak surai hitam Hujan pelan, menimbulkan jeritan gaduh di sana. "Omong - omong, Jan,"

"Hm?"

"Apa Kak Niswa sering berkunjung ke kamarmu untuk mengantarkan makanan misalnya?"

"Ya," kedua belah alis Hujan bertubrukan, "Kenapa?"

"Tak apa, hanya bertanya." Pria itu hanya tersenyum canggung, kembali berkata, "Apa kau sudah memakan permenmu?"

"Belum."

Pria itu menghela napas panjang. Dia menggenggam tangan Hujan dengan kuat. "Hujan?"

"Aku tidak suka permen itu, Kak. Tolong jangan paksa aku, karena aku membencinya." []

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang