7. Keputus-asaan

1.1K 195 8
                                    

Kendati tersengal hampir ambruk di sisi jalan, Hujan tidak akan menghentikan langkah tungkainya yang sudah terlanjur terhempas jauh dari posisinya lima menit lalu --depan minimarket. Dia akan pergi dari sini, meninggalkan kamar pengap yang disesaki oleh bau karbol. Hujan ingin bersenang-senang hari ini --ingin menemui orang yang sangat dia rindukan.

Menopang kedua tangan diatas lutut, berusaha sekeras mungkin menetralkan kembali ritme pernapasan yang sempat kacau. Hujan berkali - kali menepuk dada tanpa ampun lantas hendak meluruhkan airmata sebab dia tahu ini sangat terasa menyakitkan. Tetapi dia bertekad tidak akan lagi menjadi sosok yang penakut, cengeng dan lemah. Dia meraih uangnya yang terselip di saku jaket, meremasnya erat.

Kini, remaja itu sudah berdiri megah di tepi jalan --tepat di halte pemberhentian bus. Menatap sepasang selop karetnya, merasa malu. Dia sedang berada di tengah keramaian --walaupun sebenarnya hanya ada beberapa orang disini tapi dia pikir ini sangat mencolok. Mengenakan pakaian khas pasien rumah sakit di balik jaketnya serta celana yang bermotif serupa membungkus pinggang dan kakinya --dan tentu saja tidak akan ada kain lain yang membungkus celana pasien miliknya kali ini.

Bus telah datang. Hujan kembali melangkahkan kaki masuk ke dalam bus, berhenti sebentar di dekat kursi kemudi lantas memasukkan selembar uang ke dalam box kaca bening. Orang - orang yang ada di dalam sana memperhatikan dirinya yang terlihat janggal. Pasti disalah satu penumpang berasumsi, apakah anak ini adalah pasien yang berhasil kabur?

Tetapi Hujan tidak mau peduli kali ini. Dengan kepala yang tegak -- tak sedikitpun tertunduk malu lantas duduk disalah satu kursi yang kosong di dekat sisi kanan -- menggeserkan bokongnya ke pojok samping jendela. Membuka kaca lantas angin menyerbu rambutnya, Hujan tersenyum bahagia. Dia akan bersenang - senang hari ini. Tanpa permen, tanpa ocehan Dirta, dan tentu saja tanpa aroma karbol yang menusuk indra penciumannya.

Bus telah bertolak jauh dari titik awal sedari tadi. Hujan menutup mata barang sebentar lalu kembali membuka, bersedekap menikmati angin dingin yang menerpa sebagian tubuhnya. Di luar sana, bus telah memasuki area yang lumayan sepi dengan pemandangan indah --hamparan ilalang cokelat yang semakin menenangkan jiwa Hujan. Tumbuhan itu bergoyang pelan mengikuti arah angin yang membawa tubuh mereka bergerak. Hujan tersenyum kecil saat menampak segalanya di jalanan hari ini.

Dari kejauhan, Hujan bisa melihat ada halte kecil di pinggir jalan tepat di dekat dermaga. Bus berhenti ketika telah berhasil sampai di sana lantas Hujan mengucap banyak terimakasih pada supir dan keluar dari kendaraan yang membawa tubuhnya sampai ke sini. Menghirup udara yang segar sedalam mungkin. Dia harus bahagia hari ini. Pasti, dia harus bahagia.

Di depan sana, hamparan biru air laut menusuk retina Hujan. Tertawa ringan sambil bersenandung, dia merasa sangat bahagia kali ini. Hujan pikir di sini sangatlah menyenangkan. Pantai yang indah, burung yang berkicau merdu, serta melodi deburan ombak mengenai karang adalah hal yang jarang sekali Hujan dapatkan selama 3 tahun terakhir. Selama itu, yang Hujan dapatkan hanyalah pemadangan para dokter yang berlari membelah koridor, tangisan anggota keluarga yang meratapi nasib, serta bunyi sirine yang mengudara.

Semuanya sangat terasa berbeda, dan Hujan lebih menyukai deskripsi yang pertama.

Langkah yang tadinya menapak jalan beton kini digantikan oleh pasir putih yang sedikit diselimuti oleh salju. Kakinya bergetar kedinginan tetapi tak lagi dia hiraukan. Pemandangannya terlihat lebih eksotis di sebelah sini. Jauh berbeda dari kejauhan --ketika tubuhnya berada di depan halte pemberhentian bus beberapa menit yang lalu.

Hujan tertawa. Meremas sebelah tangannya erat di sisi tubuh, merasa emosinya bercampur padu. Di dalam dada terasa sakit, marah, senang namun juga terasa sedih ketika melihat hamparan luas nan indah ini sendirian. Jika saja ada orang lain yang menemaninya di sini, pasti tak akan terasa menyedihkan.

Hujan mengambil ranting yang mengambang di tepi pantai, beralih menggesekkan ranting itu ke pasir putih. Menuliskan sesuatu di sana dan melempar rantingnya kesembarang arah ketika selesai mengukir kata di atas butiran kasar itu.

Dia tersenyum miring, kembali menatap hamparan biru di depan sana yang jelas menusuk mata. Deburan ombak di depan sana bersahut - sahut, saling bertubrukan.

"Kak Awan, bagaimana kabarmu? Kakak selalu sehat, 'kan? Aku juga, Kak.

Kak Awan, kapan kau akan menjemputku? Di dalam rumah sakit tidak nyaman. Terasa sesak dan membuat dadaku sakit. Aku bahkan sering mencoba kabur, tetapi Kak Dirta selalu saja memergoki aku. Dia jahat, kak. Selalu memaksaku menelan permen yang pahit itu. Bukankah itu terdengar aneh? Memangnya ada permen yang rasanya pahit?

Kak, apakah kau tahu? Akhir - akhir ini aku selalu bermimpi tentang ayah dan ibu yang datang menemuiku. Mereka memintaku untuk tinggal di sana saja, bersama mereka berdua. Tapi aku menolak karena aku masih ingin menunggumu agar lekas menjemputku.

Omong - omong, kapan kau akan kembali menjemputku, Kak?"

Hujan melepas kedua sendal karetnya, air mata itu meluruh. Kembali berjalan tanpa meluputkan pandangannya ke hamparan biru.

"Kak Awan..., aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Cepatlah datang jemput aku di sini."

"Kak, aku tak lagi mau terhanyut di dalam semua ini. Tentang kau, aku, dan musim semi. Aku tak ingin lagi berada di dalam aliran derasnya sungai yang akhirnya akan menggusur tubuhku ke laut.

Aku... membenci semua janji yang telah kau ikrarkan padaku saat itu. Aku muak. Sungguh muak.

Aku selalu berdoa di setiap hariku.  Terus merayu Tuhan yang pastinya selalu mengetahui isi hatiku. Aku hanya bisa berharap.

Tetapi, apa daya. Seharusnya aku tidak berharap lebih padamu. Kau pembohong besar. Aku benci kenyataan bahwa sesungguhnya kau telah mengingkari semuanya. Musim semi, bunga tulip, juga kehadiranmu.

Kak Awan, aku sangat kecewa sampai ingin menyerah saja."

Jaket tipis Hujan ternodai oleh setitik cairan pekat. Hujan mengernyit pedih sebentar, meraih hidungnya dan benar saja dia menemukan rembesan darah di sana. Terasa sakit.

"Aku pikir dia memang keparat, kak. Apa yang harus aku lakukan agar dia tak lagi muncul ke permukaan? Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi, sungguh.

Kalaupun aku bilang bahwa aku sangat membencinya, apakah itu bisa membuatnya lenyap dari tubuhku?

Tidak, 'kan?

Hatiku hancur setiap orang yang merawatku mengatakan hal yang sama, walaupun mereka berbicara di belakangku. Aku tidak bodoh, kak. Aku mengetahui tentang segalanya karena aku yakin hal itu yang semakin membuatmu menjauh dariku. Saat aku menemukan secarik kertas yang bertuliskan namaku di meja Kak Dirta bersama tumpukan kertas lainnya, aku merasa harusnya aku tidak dilahirkan saja. Aku sakit, kak. Aku membutuhkanmu di sini."

Tubuh Hujan terbenam ke dalam dinginnya biru air laut. Kendati dia bisa berenang, tapi dia tidak melakukan apa - apa ketika air asin itu berlomba memasuki paru - parunya. Dia telah putus asa menanti sesuatu yang tak pasti.

"Tetapi, jika aku meluapkan segala rasa sakit ini dengan tangis tanpa suara, apakah semuanya akan menjadi baik - baik saja? Apakah aku bisa bertemu denganmu? Memelukmu?

Bahkan kenyataannya hingga sekarang, aku tidak pernah merasa baik - baik saja."

Mata itu menutup perlahan seiring desakan air semakin membobol parunya.

"Aku benci dia, Kak. Bantu aku.

Bisakah aku pergi dari sini?

Aku... ingin pulang."

Jauh di tengah kedalaman hamparan laut sana, air menelan tubuh Hujan tak bersisa. Meninggalkan coretan tangan Hujan di atas pasir pantai, serta sepasang sendal karet di samping goresan ranting yang tengah menanti kedua kaki tuannya kembali.

Hari itu, seseorang di dalam birunya panorama telah menyerah menunggu seorang lagi kembali. []
 
  
  
  
  
  
   Selamat hari raya idul adha ♡
Aku kurbanin Hujan aja buat besok ehe :')

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang