24. Pedih yang Mencekam

791 136 26
                                    

Awan terpejam. Tubuhnya terduduk lemas, bersandar letih pada tembok putih di lorong itu. Pria itu kelelahan setelah menangis terisak-isak, merasa kacau perihal kondisi adiknya yang tengah berjuang di balik pintu kaca besar bertuliskan UGD di depan. Air mata yang tadinya deras mengaliri pipi pun tak bisa jatuh lagi walaupun hanya setetes. Tangis itu bukannya reda. Hanya saja, cairan bening yang turun dari mata sudah kering kerontang, tak sanggup untuk keluar barang setitik jua.

Kini, Awan bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Hal apakah yang telah terjadi pada adiknya selama dia pergi? Mengapa Hujan jadi seperti ini? 

Suara langkah terdengar mendekat. Awan perlahan mengerjap, memfokuskan pandangan yang tadinya buyar karena masih ada lelehan air mata yang menganak tersimpan. Langit-langit berwarna putih bersorot lampu menyakiti pandangannya saat itu juga, membuat matanya menyipit. Lalu suara seseorang terdengar begitu lembut menyapa pendengarannya, "Awan, kau baik-baik saja?"

Awan menoleh.

Tubuh Dirta berdiri tegak di sana. Memamerkan jas putihnya yang berantakan terkena darah, stetoskop yang masih tergantung di leher, serta wajahnya yang dibanjiri oleh keringat. Menatap lesu dan miris pada presensi sahabatnya. "Kau terlihat buruk."

"Bagaimana dengan dia?"

Mata Awan kembali berkaca. Hidungnya menarik oksigen dengan tamak, kembali diliputi perasaan cemas yang bergejolak membakar dada.

"Maaf. Seharusnya aku tak mengizinkan kalian pergi. Hujan jadi begini karena aku."

Dirta mendekat pada sosok Awan. Pun ikut duduk di samping tubuh pria satunya lagi, menyilangkan sebelah kaki, lalu menyender menatap langit-langit putih.

"Aku bilang, bagaimana dengan dia?" Pria yang lebih muda menatap nanar pada pria yang lebih tua. Bibirnya bergetar, menanti jawaban yang tak kunjung  datang.

"Hujan tidak baik." Lantas Dirta menatap pantopelnya di bawah, tak berani balas memperhatikan netra Awan yang kembali banjir. "Aku akan menjelaskan kondisinya lebih detail padamu sekarang juga."

Awan menghela napas kuat. Dadanya naik turun tak beraturan, sesak menahan beban yang menohok pernapasan. "Tidak, jangan bicara, Dirta. Jangan katakan apapun jika itu akan menyakitiku."

Awan kalut. Dia terisak lagi, kacau kehilangan arah. Kemudian Dirta meraih kedua bahu Awan, mencengkramnya kuat, mengalami sesak yang sama dengan sahabatnya. "Hujan bisa saja pergi hari ini, Awan. Dengar," Kakak kandung Hujan itu memegangi kepalanya, napasnya memburu. Akhirnya Dirta menahan pergerakan Awan yang berontak, meronta lepas dari cengkramannya. "Adikmu benar-benar lemah sekarang. Kankernya ---"

Tangan itu terangkat, menutup kedua telinganya erat, tak mengizinkan sekecil apapun celah yang membuat suara bisa lewat. "Jangan katakan apapun, Dirta." Awan terus menggeleng. Dia bangkit dari kursi panjang di lorong itu, melangkah mundur. Berusaha menjauh dari presensi Dirta, "Kau menyakitiku! Aku tidak mau dengar. Tidak."

"Awan, tenang! Kendalikan dirimu!"

"Kau tidak bisa terpuruk seperti ini! Hujan, adikmu---" Perkataan Dirta terhenti, lantas lelaki itu memaksa sahabatnya untuk menatap maniknya. "Dia membutuhkan dukunganmu, Awan. Jika kau hancur begini," air mata Dirta meleleh, netranya memerah sangat ketara. Pria itu merasa sangat lelah. Dia baru saja berjuang menyelamatkan adik Awan dari dalam sana, tetapi sekarang malah dihadapkan dengan perasaan yang tak jauh memilukan dibandingkan sebelumnya. "Bagaimana dia bisa bertahan?! Bagaimana, sialan?!"

"Hujan, Hu-jan," Racauan Awan terngiang. Rasa pedih terus mencebik keduanya. Pandangan Awan kosong ke hadapan, jiwanya seperti melayang. "Aku, a-aku ingin dia bertahan, Dirta. Aku, tidak. Dia tidak boleh menyerah sekarang. Tidak bisa."

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang