B berdehem sebentar, memulai konversasi mereka. Menjilat bibirnya yang terasa kering. "Jadi, apa yang bisa kubantu untukmu?"
A tertawa. Dia berkata, "Bisakah Hyung memberikanku obat baru dengan dosis yang lebih tinggi?" Dia tertunduk, meremat kedua telapak tangannya yang tampak terlihat sedikit bergetar. "Kepalaku semakin sering sakit akhir-akhir ini, dan aku pikir," A menatap kembali ke arah B. Matanya bergulir tak pasti, "Sakitnya lebih parah. Aku selalu meminum obatnya dengan benar. Tapi kurasa, obat itu tidak membantu apa-apa."
"A-ya, ayo kita lakukan operasinya."
"Aku tidak punya uang, Hyung. Untuk membeli sebotol obat saja aku sudah susah payah mengumpulkan uangnya selama dua minggu kerja." A tersenyum lagi. Namun, ah. Lengkungan bibir itu tampaknya palsu. Dia diam-diam menahan gejolak sesak di dadanya. "Bahkan uang hasil kerja paruhku selama 5 tahun tidak akan cukup untuk membayar operasinya."
"Aku akan bicara dengan ibumu. Dia akan membayar administrasinya."
"Tidak akan." A bahkan tak tahu harus berbuat apa. Dia tidak punya uang untuk biaya operasinya. Soal ibu, tentu saja beliau tidak akan mau tahu. Apapun itu, jika tentang A. "Ibu memintaku berhenti untuk terus menemuinya. Dia bilang,"
A terdiam cukup lama untuk melanjutkan. "Dia menyesal. Harusnya dia tidak melahirkanku." Senyum itu bahkan tak pudar, masih menghiasi wajah lelahnya. "Dan ya, kau tahu, itu sangat menyakitiku."
"Aku yang akan membayar biayanya. Semua---"
"Hyung, kau tahu, tidak, kalau aku bahkan ke rumah sakit ini dengan jalan kaki? Aku bersungguh-sungguh ketika berkata padamu bahwa aku tidak punya uang. Aku tidak bisa bekerja sudah 3 hari ini karena sakit kepalaku semakin menjadi-jadi. Bahkan aku belum memasukkan makanan apapun ke dalam lambungku sejak kemarin sore sebab uang harianku sudah tidak ada lagi." A terkikik pelan, menertawai takdir hidupnya yang begitu lucu. Bahkan dia merasa kalau dia adalah orang yang paling melarat di dunia untuk saat ini. "Jadi, jika Hyung ingin membahas masalah Ibu saat ini, aku minta maaf. Aku hanya ingin resep obat yang baru, bukan cerita tentang Ibu."
A berdiri dari kursinya. Membungkuk hormat kepada B, hendak berlalu pergi. "Jadi, jika Hyung tidak bisa memberikanku resep obat yang baru, tidak apa-apa. Mungkin aku bisa membeli obat dengan resep yang lama. Aku permisi."
_______
"I...bu,"
C terkejut, menghempas tangan A yang memegang lengannya. Lantas dua berteriak, "JANGAN PANGGIL AKU IBU! AKU BUKAN IBUMU!"
Sontak setelah itu, A merasa tubuhnya terhempas. C mendorongnya ke bawah tangga sampai A terguling ke anakan tangga paling dasar. Kepala A sudah berdarah darah, mengecap di lantai. Bahkan perlahan, cairan merah keluar merembes dari kepala pria muda itu. Mengalir ke keramik, membuat sebuah aliran kecil yang semakin lama makin menggenang.
A masih tersadar. Dia berusaha menggapai bayangan ibunya yang sedang berdiri di anakan tangga paling atas, pun menatapnya dengan ekspresi terkejut. Mata pria itu mengedut, tangannya masih bergetar, tetap berusaha menggapai kendati dia tahu kalau ibunya tak akan menolongnya. "I..bu, aku... minta maaf."
"Maaf, k-karena, t-t-telah memanggilmu, I-bu."
A tak bisa mempertahankan pengelihatannya lebih lama. Dia merasa sakitnya hilang, melebur bersama bayangan hitam yang perlahan menelan tubuhnya.
Duh template apaan ini wkwk. Udah hampir 3 tahun engga nulis, gaya tulisanku makin ancur nih haha
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Semi : Awan dan Hujan
FanfictionHujan percaya kalau Awan tidak akan mungkin mengingkari janji yang telah mereka buat bersama. Dia pasti akan menunggu kakaknya kembali, menjemputnya di suatu hari saat musim semi tiba. Ya, kakak pasti akan menjemputnya. Pasti. 2018 © dyowaseul