3. Brownies Kak Niswa

1.4K 215 23
                                    

Ah, selang ini lagi. Hujan sangat benci dua jenis selang yang sekarang tengah melilit tubuhnya. Yang pertama, selang bening berdiameter sekitar tiga mili melintang hingga punggung tangannya, membelenggu dirinya agar tidak bergerak banyak jika memang dia tidak mau darahnya mencuat ke atas selang itu. Dan yang kedua, selang hijau transparan berdiameter sama bersarang di kedua lubang hidungnya. Yaah, untuk yang selang kedua ini, Hujan rasa dia memang benar - benar membutuhkannya. Napasnya terasa sesak karena insiden kecil di kamarnya siang tadi.

Anak itu hanya bisa menoleh ke samping kiri, kembali merenungkan butiran-butiran salju yang turun, beberapa singgah dan menempel di kaca jendela. Dia tersenyum kecil, mengenang masa indahnya bersama Awan sewaktu dulu.

Hujan itu sangat mencintai musim dingin. Musim di mana semuanya berubah menjadi putih --warna favoritnya, suhu udara yang semakin mendingin, jalanan yang terasa membeku, natal, dan tentu saja,

Hari ulang tahunnya.

Musim dingin itu sebenarnya hangat. Tidak ada sedikitpun udara dingin yang menerobos masuk ke dalam rumah kecil miliknya dan Awan. Saat musim dingin tiba, mereka menyeduh dan menyeruput segelas teh maupun cokelat hangat bersama - sama, merayakan hari ulangtahun Hujan bersama - sama, berbagi kado akhir tahun bersama - sama, hingga bergelung di dalam selimut hangat mereka. Hanya saja, suhu udara akan terasa dingin jika mereka tidak bersama.

Namun, saat musim dingin pula sesuatu yang buruk terjadi. Saat musim dingin ditahun itu tiba, Awan justru meninggalkan Hujan sendirian di sini. Di sebuah rumah keren yang membuat Hujan selalu merasa sendirian dan kesepian.

"Hujan, lihat, Kak Niswa membawa apa untukmu?"

Niswa, seorang gadis yang berprofesi sebagai perawat itu masuk ke ruang rawat Hujan --biasanya Hujan menyebutnya dengan kamar pribadinya seraya mengangkat tinggi-tinggi kotak kue. Dia berjalan riang menghampiri adik kesayangannya yang terkapar di ranjang ditemani dua selang lucu di sana.

"Eung? Kau terlihat tampan dengan selang itu."

"Lihat!" Gadis itu menyodorkan kotak miliknya pada Hujan, "Brownies kesukaanmu!"

Hujan hanya tergelak pelan. Dia berusaha bangkit, hendak duduk lantas Niswa membantunya. "Kak Niswa sudah selesai cuti?"

"Ya." Dia mencubit hidung adiknya dengan gemas lalu memamerkan sebuah cincin yang tersemat di jari manisnya. "Dan aku membuat browniesnya khusus untukmu karena aku merasa sangat bahagia akhir - akhir ini."

"Whoah, apakah itu cincin pernikahan Kak Niswa?"

"Hm. Ah tidak, bukan begitu. Ini cincin pertunanganku." Ia tersipu malu.

"Yah, kurasa Kak Dirta akan merana setelah ini."

"Apa?"

Hujan megap. Dia hanya terkekeh dengan terpaksa dan harus mengubah alur perbincangan mereka. "Tetapi Kak,"

"Apakah aku bisa memakan ini sekarang? Apa tidak masalah kalau nanti Kak Dirta akan marah?"

"Entahlah. Sebaiknya simpan saja kue browniesnya sampai kau membaik. Memangnya kau kenapa sampai pakai nassal kanula begitu?"

"Bukan apa-apa, hanya ada insiden kecil, haha."

Niswa merebut kembali kotak kuenya dari tangan Hujan, "Insiden macam apa itu?"

"Bertengkar dengan Kak Dirta bukanlah hal buruk sampai aku sesak begini."

Anak itu kembali terkekeh. Mencoba mencairkan suasana lalu kembali menatap jendela. Dia semakin merindukan kakaknya jika melihat brownies yang manis itu.

"Kau suka kuenya?"

Hujan mengangguk semangat lantas kembali menyomot kue brownies yang baru saja ibunya keluarkan dari dandang pengukus. Bibirnya kotor belepotan karena tak sabar menyantap kue brownies itu agar kakaknya tidak mengambil bagiannya. Selain macaroon, remaja kecil itu juga mencintai kue brownies dengan ceres cokelat dan keju di atasnya.

Ibu hanya tersenyum. Ia sangat bahagia walaupun ia hanya bisa memberikan sekotak kue brownies untuk merayakan kemenangan olimpiade bahasa inggris anaknya beberapa hari yang lalu. Saat ibu berkata 'maaf, ibu tidak punya uang. Jadi, ibu hanya bisa memberimu ini.', Hujan hanya memeluk ibu dan berkata tidak apa - apa. Dia sudah merasa senang karena ibu sudah membuatkan kue brownies kesukaannya.

"Kakak! Kenapa mengambil bagianku?!"

Sorot mata sang bungsu menukik tajam ke arah seorang pemuda di sisi ibunya yang tengah menganga sembari memasukkan sepotong kue brownies itu ke mulutnya. Pemuda itu hanya terkekeh sedikit, berlalu kabur sebelum Hujan mengamuk dan berakhir saling mencubit.

"Ibu! Kak Awan mengambil jatahku!"

Hujan lantas bergumam kesal walaupun mulutnya masih penuh akan kue. Kakaknya sudah hilang dari sana dan dia terlalu malas untuk berdebat. Kuenya terlalu menggoda untuk ditinggalkan di atas meja ini.

"Ikhlaskan saja, Nak. Nanti ibu buatkan lagi untukmu. Mau berapa kotak?"

"Benarkah?" Mata anak itu melebar bahagia, "Aku mau tiga!"

"Oke!"

Hujan, dia merindukan segalanya tentang Awan. []

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang