Kaki jenjang melangkah masuk, menapak pada porselen putih berkilauan. Sesuatu dalam gendongan bergerak-gerak, tangan mungil berbalut jubah cokelat bermain dengan kancing seragam prajuritnya. Manik gelap tajam melirik wajah lugu sang bayi dalam pelukannya sekilas, lalu menghela nafas.
Beberapa pelayan berbaris rapi di depan pintu masuk. Semua membungkuk sopan disertai sahutan selamat datang dari setiap pelayan. Mansion besar modern itu terlihat begitu indah dan elegan.
Pemuda dengan wajah tampan nan datar tak tertarik untuk membalas salam dari pelayan. Ia terus melangkah masuk, menaiki anak tangga untuk mengistirahatkan diri di kamar pribadi yang terletak di lantai atas.
Bayi itu ia letak di atas ranjang. Tangannya bergerak membuka kancing seragam lalu melempar pakaian ke dalam keranjang di samping lemari baju. ia membuka lemari, mengambil handuk putih dan beberapa baju kemudian menghilang di dalam kamar mandi. Meninggalkan bayi itu sendirian di atas ranjang king size si pemuda.
Suara tangis mengusik kegiatan sakralnya. Pemuda tampan itu berdiri di depan cermin, menatap datar wajah pucat yang terpantul disana. Jemari besar terangkat, menyentuh sebuah bekas memanjang di daerah perut dan beberapa di bahu. Tubuh atletis itu tidaklah sempurna. Masalalu penyebab utama.
Surai malam ia acak asal, butiran air melambai dari ujung helaian lalu mengalir jatuh membelai rahang kokohnya. Selesai berpakaian ia segera berjalan keluar menemui seongok tubuh mungil yang menjerit berisik sedari tadi.
Ia mengangkatnya, membawa bayi manis itu untuk digendong. Mata setajam elang menatap wajah penuh tangis sang bayi dengan begitu datar.
"Kenapa wajahmu begitu mirip dengan orang tuamu, terlebih pembunuh itu." Pelukan semakin erat, iris gagaknya menelisik wajah sang bayi.
"Aku benci. Benci wajahmu.." Tangisan semakin kencang. Seakan mengerti maksud dari ucapan pria yang sedang menyakitinya.
Mata bulat menawan terpejam menahan sakit, tangisan khas bayi semakin kencang. Pria itu menyadari perbuatannya sudah kelewatan. Ia tahu, tak seharusnya ia mengaitkan rasa dendamnya pada bayi tak berdosa ini. Namun, Zaiga bukanlah sosok yang akan tunduk pada rasa kasihan. Tidak. Jika merasa benci maka segala hal akan dilakukan agar kebencian itu bisa terobati, salah satunya dengan membunuh.
Tok!! Tok!!
Ketukan di pintu kayu kokoh berwarna cream pudar membuyarkan lamunannya. Pelukan itu sedikit melembut.
"Tuan Zaiga, Letnan Luther telah tiba, beliau sedang menunggu anda di ruang tamu."
Zaiga segera membaringkan bayi tersebut kembali di atas ranjang. Ia mendudukkan diri di tepi lalu memijit sebentar pelipisnya.
"Aku akan segera menyusul."
"Baik, Tuan."
Setelah kepergian pelayannya, Zaiga melirik bayi yang masih menangis manja itu.
"Ada apa denganmu? Kau berisik, membuat telingaku sakit." Zaiga menghela nafas, "ini bukan rumahmu. Berhenti merengek atau kulempar kau keluar dari sini." Zaiga kesal. Ia tahu, tingkah kejamnya tak pernah berubah bahkan pada bayi sekalipun. Bagaimana bisa anak sekecil itu mengerti bahasanya. Terdengar gila. Begitulah Zaiga, ia yang selalu kasar dengan mulut jahatnya, tidak ada yang bisa mengubah sifat jeleknya.
Zaiga membuang wajah, "kau tak bisa tinggal disini, aku tak yakin bisa merawat anak dari musuhku sendiri. Mudah saja jika aku ingin membunuhmu. Kau terlalu beresiko jika kubiarkan hidup. Tapi.." Zaiga menoleh lagi, menatap wajah memerah yang masih menangis. "Lupakan. Aku akan cari cara lain." lanjutnya kemudian berjalan pergi.
![](https://img.wattpad.com/cover/155035612-288-k460256.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3
Fantasy[selesai] Happy ending Kisah baru dimulai. Dipungut lalu dibuang. Lima belas tahun kembali bertemu. Apakah ia mampu membunuh bangsawan yang telah menghabisi keluarganya ataukah terjebak kisah asmara dengan si pembunuh? CINTA atau DENDAM yang akan i...