29

1.5K 184 25
                                    

Wanita berparas cantik mengambil mangkuk yang disodorkan padanya. Ia menatap sebentar cairan pekat yang merupakan ramuan obat itu dengan kening berkerut, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang barusan mengantarkan obat.

"Emina, menurutku obat ini tidak mempan untuk penyakitku. Semakin lama kepalaku terasa sangat berat dan kadang pandanganku mengabur."

Wanita yang dipanggil Emina itu memperlihatkan wajah takut lalu berlutut meminta maaf tanpa sebab.

"Ampun yang mulia! Saya tidak becus merawat anda. Tapi demi hidup saya, kesehatan anda adalah segalanya. Saya sudah bekerja keras mencari rempah-rempah pilihan terbaik yang sesuai dosis tubuh anda. Mohon ampun bila anda tidak menyukainya."

Sang Ratu terkejut dengan sikap selir suaminya yang sudah dia anggap saudari sendiri. Dia merasa bersalah dengan ucapannya barusan yang mungkin membuat Emina salah mengerti.

"Tidak Emina. Aku sama sekali tidak bermaksud menyalahkanmu. Jangan bersikap sungkan seperti itu padaku, bangunlah. Aku akan menghabiskan obat buatanmu, mungkin memang pengaruh dari pikiranku yang membuat kondisiku memburuk." permaisuri segara menghabiskan ramuan pahit di tangannya, setelah itu ia bergumam sedih, "Aku hanya terlalu khawatir dengan putraku.."

Mendengar itu, Emina segera bangkit dan mengambil alih mangkuk kosong tersebut untuk ditaruh ke nampan pelayan pribadinya. Setelahnya ia tersenyum tipis, "Anda tidak perlu cemas, permaisuri. Luka Putra mahkota sudah hampir pulih seluruhnya, semua berkat tabib terbaik yang kubawa. Setelah kondisinya membaik, dia akan segera dinobatkan sebagai raja dan juga anda akan berganti gelar menjadi ibu suri."

Permaisuri muda itu tak begitu tertarik dengan ucapan soal penobatan. Ia terlanjur senang mendengar bahwa putranya sudah baik-baik saja.

"Syukurlah kalau dia sudah baik. Bolehkan aku menemuinya sekarang?" tanyanya bersemangat.

"Tidak, permaisuri. Pangeran masih belum sadar. Anda harus banyak beristirahat. Setelah sadar, aku akan memberitahumu, permaisuri."

"Baiklah.." ia mengucapnya dengan nada sedih. Kemudian Emina dan dua pelayannya segera undur diri meninggalkan sang ratu yang sedang mencemaskan putranya hingga kepalanya berdenyut sakit kembali.

"Daze.."




.

"Keluarkan aku! Hei, kalian tidak dengar?!"

"Berisik. Kau tidak akan selamat dari hukuman mati 'lagi', permaisuri kedua sudah memutuskan hari kematianmu."

"Omong kosong! Akanku telanjangi kau jika berhasil keluar!" ancam Zen.

"Tolong diam nona. Tidak akan ada yang menyelamatkanmu, itu hanya membuat tenggorakanmu sakit."

"Nona?! Kalian mau mati!" Zen semakin murka.

"Hei, sebaiknya kita berjaga di depan. Dia sangat berisik dan akan terus menerus bicara jika ada orang yang berada didekatnya."

"Aku pikir juga begitu."

"Hei kalian, berani membicarakanku! Cepat lepaskan aku! Aku peringatkan kau!"

Lalu dua prajurit itu bergabung dengan teman-temannya yang bertugas didekat tangga. Mereka segera membungkuk saat menyadari siapa yang datang dengan dua pelayan pribadinya.

"Permaisuri kedua.."

Zen segera mendekat ke arah jeruji dengan aliran listrik entah berapa watt itu.

"Hei permaisuri kedua. Lepaskan aku. Bagaimana keadaan Zaiga sekarang?"

"Ceh, berani sekali mulut kotormu memanggil nama lahir panggeran seperti itu!"

The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang