30

1.7K 191 35
                                    

"Ze...en.."








Permata merah itu akhirnya terbuka dengan perlahan. Cahayanya masih redup dan remang-remang. Ia meneguk cairan di mulutnya dengan susah payah, terasa begitu panas dan kering. Maniknya mengerling ke kanan kiri dan hanya mendapati langit-langit putih karamel. Ia menoleh ke samping dan menemukan beberapa prajurit yang bersenjata lengkap berdiri tegap disana. Seragam mereka terlihat tak asing. Bukan anggota militer, tapi seperti seragam kerajaannya.

"Pangeran, anda sudah sadar?"

Matanya terbelalak lebar, ia menyibak selimutnya dan meringis kesakitan.

"Pangeran, anda tidak boleh banyak bergerak. Lukanya belum pulih semua."

Seorang tabib menahan tubuhnya agar tidak memaksakan diri duduk dan membaringkannya kembali ke atas ranjang.

"Laporkan pada permaisuri, putra mahkota sudah sadar." perintah tabib tua itu pada beberapa prajurit yang berjaga di ruangan.

"Baik."

"Aku di.. kerajaan Viermogeerand?" suaranya serak, khas seseorang yang barus bangun setelah sekian lama tertidur.

"Ya, pangeran. Ini adalah kamar perawatan anda selama koma dua puluh satu hari."

"Dua puluh satu?" Zaiga mengulang dengan pandangan terkejut, "Lalu dimana Zen?"

Tabib itu mengernyit, "Si-siapa, pangeran?"

Zaiga menggeram lalu menyentak tangan tabib yang mencoba memeriksa tubuhnya.

"Zen. Anak remaja yang bersamaku! Katakan dimana dia!" ia mencengkram kerah baju tabib tersebut dengan kasar hingga pemiliknya bergetar ketakutan.

"Ti-tidak tahu pangeran.. Ampuni saya.."

Zaiga yang kesal mendorong tabib tua tersebut hingga tersungkur jatuh. Ia menyibak selimutnya dan berniat turun. Zaiga bisa merasakan energi Zen berada di tubuhnya, apa yang sudah dilakukan bocah bodoh itu selama dia sekarat. Mereka pasti menyadari aura Zen yang merupakan keturunan dari kerajaan Fuuma. Zaiga tak suka basa-basi dan langsung mencekiknya.

"Katakan dimana dia!"

"Dikediaman pangeran kedua, putra mahkota."

Zaiga mendelik ke sumber suara yang ternyata adalah selir dari ayahnya. Ibu tiri lebih tepatnya.

"Anda tidak boleh banyak bergerak atau luka di tubuhmu akan terbuka lagi."

Zaiga menelan air liur dengan susah payah, lalu nekat bangun sambil menurunkan kedua kakinya dari atas kasur, tabib itu membantunya. Dia tak suka banyak bicara. Karena sudah sampai di tempat ini–tanah kelahirannya– maka bahaya selalu mengancam keselamatan Zen. Dia harus cepat membawa Zen pergi sebelum pejabat-pejabat di kerajaan menyadarinya.

"Pangeran, jika anda bersikeras seperti itu permaisuri akan sedih." suara Emina lagi. Setelah itu, Zaiga benar-benar berhenti dan duduk diam di atas kasur.

"Dimana ibuku."

"Sebaiknya anda istirahat sebelum bertemu dengan beliau, atau dia benar-benar akan sedih melihatmu yang masih belum sembuh total."

Zaiga mengatup rapat mulutnya. Tanpa balasan dia segera menarik selimut sambil memunggungi mereka semua. Wanita ini selalu bersikap sok berkuasa, bahkan setelah sekian lama kepergian ayahnya.

Malam itu Zaiga mengusir para prajurit untuk berjaga diluar, alasannya tidak terbiasa tidur jika ada orang yang berkeliaran di ruangannya. Karena tak berani membantah perintah putra mahkota akhirnya mereka melakukan apa yang disuruh. Zaiga mengunci pintu lalu membuka portal untuk pergi ke kediaman pangeran kedua, adiknya alias putra dari selir ayahnya.

The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang