Waktu terus berjalan, tak terasa tinggal beberapa hari lagi masa penutupan anggota baru. Malam terakhir sebelum keberangkatannya, Zen berpamitan pada nenek. Tentu beliau tak mengijinkan, apalagi dengan alasan mencari pekerjaan!
Zen masih kecil, baru lima belas tahun. Selain itu, Zen adalah titipan orang, bagaimana mungkin ia membiarkannya merantau ke kota.
Tidak. Dia tak akan mengijinkan Zen pergi.
Zen tak bohong, menjadi seorang prajurit itu pekerjaan, bukan? Jadi tak masalah meski tak bisa memberitahu alasan sesungguhnya.
Tapi nenek tetap bersikeras. Harusnya Zen sekolah yang benar sebagaimana anak seusianya. Ngapain malah mikirin pekerjaan! Itu bukan kewajibannya sebagai anak panti disini.
"Nggak Zen. Nenek tidak setuju. Kamu masih kecil, kami juga tak ada permasalahan dengan keuangan. Nenek masih sanggup mencukupi kebutuhan enam puluh dua anak disini." Tak semudah itu nenek menyerah. Zen harus pandai bila ingin keluar dari keposesifan nenek. Si tengil memutar otak cerdiknya.
Wajah sayu ia pasang. Mata bulat berbinar memelas. Zen mulai dengan aksi liciknya, namun dalam batas wajar. Ia tentu mencari alasan lain yg masuk akal.
"Nek, aku harus melakukan kewajibanku. Nenek tak bisa bohong. Harga pangan di pasar naik drastis karena masalah tak jelas di pusat kota. Kita tak tahu apa penyebab semua itu. Jadi, tolong ijinkan Zen pergi dengan Yuko. Pakai saja uang Zen untuk kebutuhan panti asuhan. Zen tak bisa menggunakan uang sebanyak itu. Kumohon nek."
Helaan nafas membuat si mungil jingkrak dalam hati. Nenek mengelus pucuk kepalanya lalu menatap Zen lembut. Raut tak rela bercampur khawatir terpancar utuh disana.
"Kamu tanggung jawab nenek. Selain itu, Luzen adalah titipan yang akan diambil entah kapan. Nenek tak bisa membiarkanmu pergi."
Kening itu mengerut. Ingin rasanya ia tertawa sinis.
Tangan keriput ia tepis, tidak kasar. Namun, tetap saja tak sopan.
"Titipan? Bukankah aku sengaja dibuang? Untuk apa diambil kembali. Maaf, tapi aku tak akan kembali pada pembuangku. Aku hanya ingin memastikan sesuatu." bisik Zen diakhir kalimat. Nenek menatapnya nanar.
"Jangan, Zen jangan pergi.."
"Maafkan aku, tapi aku tetap akan pergi. Takdir hidupku ada di luar sana. Menungguku untuk menjemputnya. Aku harus menemukan jati diriku. Segalanya, aku ingin tahu semua yang berkaitan dengan diriku. Tolong nenek jangan menahanku. Besok pagi kami akan berangkat, nenek jaga diri baik-baik." Zen berbalik pergi meninggalkan sang nenek yang menangis sendu. Bukan maksud Zen kasar pada nenek, tapi jika Zen tak begini nenek tak akan bisa melepaskannya.
Pagi itu, Zen benar-benar pergi. Meninggalkan rumah yang sudah menampungnya hingga sebesar ini. Entah berapa tahun, dia akan berkunjung sesekali atau bahkan tak akan bisa mengingat pekerjaan bahaya yang dia tekuni.
Di depan gerbang Haruka menunggu dengan tas ransel besar di punggung. Mereka akan kembali menjelajahi tempat yang sama seperti sebulan lalu dengan tujuan yang berbeda. Jika dulu untuk melihat hanabi dan bertemu prajurit maka sekarang adalah untuk bergabung dengan pasukan kebanggaan yang mengabdi pada negara.
Zen sudah memilih jalan hidup yang berbeda dari yang lain tanpa berpikir dua kali. Sesuatu yang besar dan tersembunyi menunggu untuk dicari, digali dan dibuktikan.
Kali ini mereka mempersingkat waktu. Jika dulu dua hari diperlukan, maka sehari cukup untuk mereka sampai di tempat tujuannya tanpa membuang-buang waktu seperti jalan-jalan dan menginap.
Meski perjalanan yang mereka lalui begitu mulus tanpa hambatan krikil jalan, ternyata diluar perkiraan, mereka mengalami kesulitan saat memasuki gerbang batalyon. Spot pertama pendaftaran berhasil tapi saat akan melewati gerbang, tiga orang prajurit menahannya, lebih tepatnya menahan Zen.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3
Fantasy[selesai] Happy ending Kisah baru dimulai. Dipungut lalu dibuang. Lima belas tahun kembali bertemu. Apakah ia mampu membunuh bangsawan yang telah menghabisi keluarganya ataukah terjebak kisah asmara dengan si pembunuh? CINTA atau DENDAM yang akan i...