Zen duduk di bawah sebuah pohon maple, di depannya ada sebuah danau yang lumayan luas dan dia sedang melempari danau tersebut dengan batu krikil yang ia ambil dari bawah kakinya. Zen murung, ditambah perasaan gundah yang semakin membuat wajahnya kusut.
Tidak ada siapapun yang mau mengobrol dengannya. Sendiri, dan selalu sendirian. Kesepian seorang diri, bahkan Kamito tidak tahu kemana disaat dirinya butuh seorang penghibur. Zaiga sedang marah, Zen tahu itu memang salahnya. Seharusnya dia bisa mengkontrol tiap ucapan yang keluar dari mulutnya. Kalau begini, dia tidak jauh berbeda dengan Zaiga.
Jika seperti ini terus Zen bisa mati kebosanan. Apalagi saat ini sedang musim gugur, sepertinya dia pernah mendengar Zaiga mengatakan untuk membawanya jalan-jalan melihat guguran daun. Tapi dia lupa kapan, jika menagih janji yang dia sendiri tidak begitu yakin bukankah akan sangat memalukan bila ternyata Zaiga tidak pernah mengatakan itu. Tahun musim panas kemarin kah?
"Apa aku sudah enam belas tahun?"
Ah, lupakan tentang itu. Zen sedang tak ingin memikirkannya. Tiba-tiba dia jadi ingin memainkan suling, sayangnya tidak bawa.
"Kudengar ayah senior Kamito sangat galak seperti Zaiga."
"Jangankan ayahnya, melihat tingkah anaknya saja sudah tahu dia mewarisi sifat siapa."
Zen menegakkan tubuhnya. Ada beberapa senior yang berjalan ke arahnya, tidak, mereka mungkin membolos seperti dirinya. Kenapa kakak-kakak itu malah membicarakan ayah Kamito dan Zaiga?
Zen semakin merapatkan diri ke pohon, berusaha agar tidak ketahuan, bagaimanapun dia adalah junior, hukumannya pasti lebih berat jika mereka mengaduh.
"Tapi jika Kapten Zaiga dan ayah Kamito bertarung, siapa yang akan menang menurutmu."
"Kapten Zaigalah! Kita sudah melihatnya secara langsung, dari kekuatan sampai caranya mematahkan tulang prajurit lemah."
"Ya memang sih. Sedangkan Ayah Kamito saja tak pernah menunjukkan wajahnya. Tapi dari gosip yang beredar, katanya dia sangat cerdik dan licik. Bukankah dia salah satu tetua disini?"
"Benar, wajar saja jika dia seperti itu. Tapi jika ayahnya orang penting kenapa anaknya tidak mendapat pangkat apapun dan malah bergabung dengan golongan biasa seperti kita?"
"Entahlah, aku tidak begitu ingin tahu persoalan di dalam ruang petinggi itu."
"Ya, semua orang tau di dalam sana mereka banyak mengunakan siasat dan konspirasi untuk menjatuhkan seseorang. Aku tidak peduli dengan politik."
"Kudengar ayah Kamito tidak begitu suka dengan Kapten Zaiga."
"Darimana kau tahu?"
"Ah, itu tidak penting. Yang pasti ayah Kamito sangat misterius."
Zen mendengar dua orang prajurit senior yang lewat sedang menggosipkan keluarga sahabatnya (Juga seseorang yang sedang membuatnya dilema). Dia tidak menduga ternyata Kamito adalah anak seorang tetua, orang yang sangat dihormati oleh seluruh penghuni militer di tempat ini. Bukankah Zen lumayan beruntung bisa dekat dengannya. Tapi dari gosip tadi entah kenapa dia merasa ada yang janggal. Seperti mengingatkannya pada sesuatu.
Zen memutar matanya bosan lalu kembali bersender pada pohon. Dia juga tidak suka dengan masalah politik di dalam militer, Zen sama sekali tak ingin terlibat apapun.
Ia menghela nafas dan menatap sekitar. Sebenarnya hari ini Zen sedang bolos latihan. Dia ingin membuat Zaiga marah dan memanggilnya untuk meminta penjelasan seperti biasa. Lagipula, pengawas latihan hari ini bukan Zaiga, dia malas.
Tiba-tiba kedua manik cokelat Zen bergulir melirik seorang pemuda yang sangat dikenalinya sedang jalan berdampingan dengan seorang wanita. Mereka berjalan memunggunginya, Zen segera bangkit berdiri dan bersembunyi di belakang pohon. Sesekali mengintip mereka berdua.
![](https://img.wattpad.com/cover/155035612-288-k460256.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3
Fantasía[selesai] Happy ending Kisah baru dimulai. Dipungut lalu dibuang. Lima belas tahun kembali bertemu. Apakah ia mampu membunuh bangsawan yang telah menghabisi keluarganya ataukah terjebak kisah asmara dengan si pembunuh? CINTA atau DENDAM yang akan i...