Pagi itu, Zen hilang. Satu rumah gempar mencari sosok mungil yang entah kemana itu. Zaiga tak begitu peduli, paling nanti juga pulang sendiri. Kapten pasukan khusus itu lebih memilih mengurus anggota baru di batalion.Zaiga kembali menginjakkan kaki di rumah setelah malam tiba. Tubuhnya lelah dan malah mendapat kabar bahwa Zen masih belum pulang. Bocah itu menghilang seharian penuh. Apa si mungil sungguh kabur kali ini?
"Tuan Zaiga, tolong lakukan sesuatu. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Zen-sama?" Kurumi mengeluh dengan tubuh gemetar. Kedua tangan itu meremat kuat ujung seragam pelayannya. Dia memang tak sopan menyuruh Tuan rumahnya seperti ini, tapi demi Tuhan dia sangat mengkhawatirkan Zen.
"Tidak ada yang perlu dilakukan, biarkan saja." Bangsawan itu mengacuhkannya. Zaiga sedang dalam emosi tak baik hari ini. Tanpa sopan santun seorang pelayan mengeluh padanya. Seolah semua ini terjadi karena kelalaiannya. Zaiga merasa harus menghukum anak itu agar tidak melakukan kesalahan yang berulang. Kali ini dia tak bisa membiarkannya begitu saja.
Kenapa Zen senang memancing amarahnya.
Setelah kepergian Zaiga, Kurumi mulai menangis sesegukan.
Dimana Tuan Kecilnya? Apa sudah makan? Kenapa meninggalkan rumah? Pertanyaan demi pertanyaan terus mengetuk kepalanya.
"Kenapa anda selalu membuat kami khawatir?" ia kembali menangis.
Zaiga mendudukkan diri di kursi kerja, menghadap jendela belakang yang sengaja ia buka lebar dengan kekuatannya. Sebatang rokok bertengger di bibir, api mengercik. Benda silinder itu dihisapnya dalam. Kepulan asap dihembus pelan keluar dari mulut dan rongga hidung. Pikirannya berkecamuk, melayang kesosok yang membuat hatinya bimbang.
Apa Zen pergi karena kejadian semalam? Ia keterlaluankah? Wajar jika anak itu takut dan menghindarinya bukan? Setelah apa yang dilakukannya..
Tangan besarnya membuka laci, mencari sesuatu yang sempat ia tinggal disana. Namun nihil. Foto berserta kepingan frame yang hancur hilang. Zaiga yakin menaruhnya disini. Apa pelayan membuangnya? Tidak mungkin, mereka tak akan selancang itu menyentuh barang-barangnya. Memang siapa yang berani memasuki kamarnya?
Zen
Bocah itukah yang membuangnya? Bukankah ia sudah memberi peringatan? Harus berapa kali Zaiga mengingatkannya.
Sungguh kali ini Zaiga tak akan membiarkannya tenang. Ia sudah lelah bersikap baik pada anak musuhnya itu. Meski rusak, Zaiga tidak mungkin membuang benda kesayangannya. Bocah tidak tahu diri itu dengan lancang menggusur sesuatu yang berharga baginya.
Lampu berkedip, beberapa kali. Lalu pecah disusul suara gebrakan.
BRAK!
Suara dentuman kulit menghantam meja kayu menggema dalam ruangan gelap itu.
Aura hitam menyebar kesetiap sudut ruangan.
.
"Ini sudah larut malam nak. Apa kamu yakin tak mau menginap?"Di depan rumah sederhana tak jauh dari jalan raya, seorang remaja laki-laki tengah berpamitan dengan pria tua asing yang sedang tersenyum hangat padanya. Wajahnya terlihat ramah dan baik.
"Tidak, kek. Aku bisa jaga diri. Terima kasih kakek sudah mau membantuku. Mungkin aku masih berkeliling di kota jika tak bertemu dengan kakek." ucapnya tulus. Sang kakek mengelus surai silver halus si mungil.
"Tentu saja. Kakek juga tertolong berkat bantuanmu. Dagangan kakek terjual sebagian. Maaf karena bentuknya tak begitu mirip dengan yang kamu inginkan, kakek belum pernah melihat ukiran seperti itu sebelumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3
Fantasy[selesai] Happy ending Kisah baru dimulai. Dipungut lalu dibuang. Lima belas tahun kembali bertemu. Apakah ia mampu membunuh bangsawan yang telah menghabisi keluarganya ataukah terjebak kisah asmara dengan si pembunuh? CINTA atau DENDAM yang akan i...