2

3.9K 297 22
                                    

"Zen, tetaplah hidup. Jadi anak baik, ya! Ayah nggak janji buat ngambil kamu disini.."

Tidak! Jangan pergi, jangan tinggalkan aku!

"Jangan nakal. Jangan membuat keputusan terburu-buru. **** ***** telat makan. Ah ya, **** ***** ********** ******* nggak boleh mabuk. ********* kayak ayah dulu, itu nggak baik. Jangan pelit, nikmati hidupmu ******* ******  Jangan boros juga, penuhi apa yang kamu butuh bukan yang kamu inginkan.."

Jangan pergi, JANGAN!

"Kamu hadiah terindah dari Tuhan buat kami, nak. Jaga diri baik-baik ya!"

















"AYAAAAAAH!"

Aku menjerit, peluh membanjiri tubuh. Sebuah bantal melayang ke arahku, dengan sigap kutangkap.

"Bisa diam nggak?! Lihat jam hoi. Ini tengah malam. Albino sialan!" Aku menunduk lalu berbisik lirih, meminta maaf. Seorang remaja seusiaku kembali membaringkan diri, aku memeluk lutut. Kantuk lenyap begitu saja saat mimpi yang tak asing kembali mengganggu.

Tak seharusnya aku menangis. Ini sudah biasa, terlalu biasa. Tidak apa, aku punya diriku sendiri. Benar, aku tak butuh orang lain.

Lima belas tahun berlalu dan aku masih sering dihantui mimpi yang tak kumengerti. Kalimat terpotong-potong lalu wajah-wajah asing tak jelas. Aku tidak bisa mengenali mereka, seolah-olah mataku minus dan wajah mereka memburam. Namun dari percakapannya aku tahu, mereka keluargaku. Tapi kenapa meninggalkanku?

Aku sendirian, sendiri di ruang yang penuh akan desak orang-orang. Aku kesepian di tengah keramaian. Aku benci hidupku, aku benci mereka yang meninggalkanku. Tidak ada keadilan. Tidak ada kepercayaan. Aku butuh alasan. Alasan yang masuk akal. Alasan yang mampu mengembalikan kepercayaan diriku.

Haruskah aku menyalahkan takdir?

Aku terjaga sepanjang malam. Sebelum sinar surya mengetuk jendela kamar, aku sudah bersiap dengan seragam sekolah.

Bersekolah? Entahlah, mungkin bolos lagi. Aku tidak suka keramaian, tempat seperti itu semakin membuatku teringat bahwa aku seorang diri. Hidupku seperti tak mengandung arti. Aku tak punya tujuan, tidak ada yang membuatku tertarik dan berusaha menggapainya.

Apa yang ingin kulakukan?

Tidak ada.

Apa yang aku harapkan?

Aku yang tak berkeinginan ini sudah pasti harapan pun tak kuminati. Bagiku harapan adalah impian kosong tak berguna yang kerap kali membodohi manusia. Berbentuk abstrak dan tak akan pernah bisa disentuh. Aku tidak percaya pada keajaiban. Semua yang terlihat adalah kenyataan, mutlak dan tak ada tiupan magig di dalamnya.

Kesialan. Kemalangan. Penderitaan. Pengucilan.

Semua itu adalah kenyataan hidupku. Aku tiap hari merutukinya. Begitu kejam, bukan? Mirisnya aku pernah berkhayal mengidamkan sedikit kebahagiaan. Sesuatu yang tak akan terwujud dan sudah kukubur dalam bersama keterpurukan.

Mungkin jika terdengar, kalian akan bosan setiap saat menyimak jeritan hatiku dengan makian pada sesuatu yang menimpa nasibku. Kadang aku berpikir, apa Tuhan itu ada? Kenapa aku tak pernah merasakan kehadirannya. Beliau mendengar keluh kesahku, bukan?

Dari sekian banyak garis hidup yang Ia lukis, kenapa harus goresan takdirku yang ia persulit?

Selalu seperti ini. Hidup itu.. Bagaimana mendefinisikannya? Bahkan tak bisa kumengerti. Membosankan. Satu hal yang kutahu. Hidup identik dengan keluar masuknya udara lewat rongga hidung. Lalu disebut mati karena tak bisa bernafas. Aku benar?

The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang