33

2.2K 199 41
                                    

Zaiga bersiap dengan pakaian formalnya sebagai seorang pangeran. Acara itu dilaksanakan pada malam hari. Zaiga sudah memaksa Zen untuk ikut, namun remaja itu menolak dan memutuskan untuk tinggal di kamar sampai Zaiga kembali dan memberitahu hasil dari keputusan akhir di aula pesta.

Zaiga tak punya pilihan dan harus pergi sendiri. Jika Zen memang tak mau, dia tak bisa memaksanya. Pesta penyambutan itu berjalan sangat lancar, dari pembukaan sampai ke inti acara. Zaiga hanya duduk diam di tempatnya sambil menatap gelas penuh yang tersuguh di depannya. Ia sama sekali tak menyentuh minuman tersebut. Dalam kepalanya hanya memikirkan tentang makhluk kesayangannya yang kesepian di dalam kamar. Dia tidak suka acara menyebalkan penuh basa-basi ini, namun juga tak dapat mempermalukan keluarga dengan pergi secara tiba-tiba apalagi ibunya juga hadir mengisi meja disini.

Beberapa putri dari kerajaan Hyongnam dari seberang meja terus meliriknya dengan malu-malu. Meski Zaiga tidak terganggu tapi Zen yang bersembunyi di lantai dua aula istana sedang menatap wanita itu penuh api kecemburuan. Dia menghentak kakinya kesal sambil memukul-mukul tiang bangunan.

"Pangeran, anda ingin saya mengganti minumannya?" seorang pelayan datang dan bertanya dengan sopan pada Zaiga yang tak kunjung meminum minumannya.

"Tidak."

"Baiklah, terima kasih untuk semua yang sudah mengikuti acara sejak dimulai hingga sekarang. Kini kita memasuki pucak pesta, silahkan tepuk tangan meriah untuk para putri-putri cantik dari kerajaan Hyongnam yang akan menari di malam ini."

Tepuk tangan meriuh dari aula istana. Para gadis iti menari begitu gemulai demi menarik perhatian dari pangeran yang digemarinya. Zen hanya bisa menahan cemburu di tempat persembunyian tanpa bisa melakukan sesuatu untuk membuat mereka menjauh dari kekasihnya.

"Terima kasih semuanya, sebagai anak tertua dan pewaris tahta maka mohon pangeran pertama untuk bangkit berdiri."

Zaiga menurut patuh dan berdiri dengan gagah.

"Pangeran, karena anda putra mahkota maka anda berhak untuk memilih calon permaisuri sebelum dipilih oleh adik-adik anda."

Zaiga memandang sekeliling lalu membuka suara, "Aku tida–"

"Pangeran."

Jawaban itu akhirnya menggantung karena suara Emina menghentikan sesi yang semua orang tunggu. Zen bahkan merasa jantungnya berhenti berdetak saat wanita itu melambai pada Zaiga dengan sebelah tangannya. Dia mungkin akan menghasut Zaiga, tapi Zen yakin Zaiga tidak akan mengingkari janjinya.

Zaiga tidak mengerti ada rencana apa lagi dari ibu tirinya untuk mengatur semua urusan hidupnya. Mau tak mau dia segera berjalan ke arah meja ibu kandung dan ibu tirinya.

"Ada apa?"

Emina mendekatkan mulutnya ke telinga Zaiga, Zaiga menoleh pada Ibunya yang hanya menatapnya sedih. Maniknya terpejam, lalu membalik tubuh dan berjalan kembali ke aula. Ia memberi hormat pada raja kerajaan Hyongnam lalu ke arah gadis-gadis muda yang sedang tersipu itu.

Zen hanya bisa diam di tempatnya berdiri dengan tangan menggepal erat. Dia tidak ingin apa yang sedang dipikirkannya terjadi.

"Aku akan memilih salah satu putrimu, Raja Hyongnam."

Saat Zaiga mengatakan kalimat itu rasanya seluruh dunia yang baru saja Zen bangun hancur begitu saja. Tubuhnya ringan seperti angin dan tertiup jauh hingga ke penghujung dunia, tidak bisa merasa, tidak bisa kembali. Dia terasingkan begitu jauh. Sosok rapuh yang baru saja terluka kembali itu menghilang dalam gelapnya malam.

"Sebelumnya terima kasih karena sudah datang berkunjung ke kediaman kami." Zaiga melanjutkan dengan penuh sopan santun.

Raja itu tertawa sebentar, "Tidak perlu sungkan, nak. Aku sangat senang dengan jawabanmu."

The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang