Setelah hari itu, Zaiga bekerja keras untuk menemukan cara memindahkan raja iblis dari tubuh Zen dan memusnahkannya pada saat itu juga. Demi cintanya, dia akan melakukan apapun. Zen juga melakukan hal yang sama dulu, mengorbankan diri demi menyelamatkannya. Kalau begitu Zaiga juga akan melakukan hal yang sama. Jika Zen memang tak mau memaafkannya paling tidak dia ingin Zen tahu bahwa dia tulus mencintainya tanpa kepalsuan apapun.
Kerajaan Gerald menyatakan perang padanya. Tidak hanya kerajaan itu, tapi juga beberapa kerajaan yang menjalin hubungan dekat dengan Gerald. Zaiga sungguh tidak takut jika harus turun bertempur, tapi saat ini dia tidak memiliki banyak waktu untuk meladeni mereka. Zaiga tengah fokus dengan kedua masalah berat yang dihadapinya. Menghancurkan raja iblis dan menemukan cara untuk mengubah nasib.
.
Setelah beberapa hari Zen menetap di tempat Gerald, ia memutuskan untuk kembali kekerajaan aslinya. Zen mengambil kunci kerajaan Fuuma yang telah di segel oleh ayahnya di kepala kelinci milik ibunya, pau-pau. Dia menyuruh Gerald untuk mengantarnya kesana. Saat memasuki kawasan hutan, hatinya terasa diremas kuat hingga begitu menyakitkan untuk sekedar menarik nafas. Tempat ini masih sama seperti dulu, saat ayah dan ibunya masih berada disini.Semua kenangan yang dilihat Zen dari transfer ingatan itu membuat dirinya tak mampu menahan sedih. Ia belari ke tempat dimana orangtuanya lenyap tak bersisa di tanah lapang yang kini sudah ditumbuhi oleh rerumputan lebat. Zen jatuh berlutut sambil menggenggem tanah yang ia gali menggunakan tangannya. Ia menangis kencang dan memanggil ayah dan ibunya yang bahkan tak sempat melihatnya tumbuh dewasa.
Zen tak peduli pada Gerald yang berada dibelakangnya, yang terus menatapinya dengan tatapan sedih. Dia tak butuh rasa kasihan dari siapapun. Selama ini, dimana keluarganya? Mereka bahkan tak mencarinya? Jika pun ada, kenapa begitu lama, bahkan sampai belasan tahun. Membiarkannya hidup bersama dengan musuhnya yang begitu membencinya.
"Zen, berhentilah menangis."
Zen menghempas tanah di telapak tangannya, giginya bergemerutuk, "Sekarang kau ingin melarangku menangis? Mau mengejekku? Mengataiku anak kecil? Memangnya kenapa kalau aku masih suka menangis, kau tak berhak melarangku."
Gerald memijit keningnya.
"Aku tidak bilang begitu. Tanganmu kotor, aku hanya ingin mengingatkanmu satu hal, mereka sudah pergi dengan damai. Jika kau menangis seperti ini, mungkin mereka akan sedih saat melihatmu masih menangisi mereka."
Mata Zen memicing tajam ke arahnya, "Kau bicara begitu mudah, delapan belas tahun aku hidup dan baru kali ini bisa sampai di tempat mereka meninggal, menurutmu aku harus apa? Tertawa? Kalian tidak mengerti perasaanku! Tidak ada yang mengerti!"
Zen meraung kencang sambil memukul-mukul tanah di bawahnya. Airmatanya menderas di selinga isak tangis sendu yang menyayat kalbu.
"Kenapa kalian meninggalkanku di hutan.. aku juga ingin ikut dengan kalian.." lirihnya lemah. Rasanya semua kakuatannya terhisap habis oleh tempat penuh kesedihan ini.
Gerald akhirnya membiarkan Zen menangis disana tanpa mengusiknya lagi. Dia menemaninya kurang lebih satu jam. Gerald merasa sudah cukup lama waktu yang dihabiskan anak ini untuk menangis. jika Zen masih meneruskan kesedihannya maka mungkin sampai besok dia akan tetap berdiri disini.
Pada akhirnya Gerald mendekat dan langsung menarik tangan Zen, anak itu melawan dan memarahinya lagi. Gerald bingung, Zen sangat mirip dengan Raito. Dari wajah hingga sikap kekanakannya. Bagian mana yang mirip Rei? Sepertinya tidak ada.
"Meski kau menangis sampai langit runtuh, mereka tidak akan kembali. Bangun atau aku seret paksa." ancamnya berusaha bersabar. Ia sudah kehabisan kesabaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Battle Against Vampire (BoyXBoy) 3
Fantasy[selesai] Happy ending Kisah baru dimulai. Dipungut lalu dibuang. Lima belas tahun kembali bertemu. Apakah ia mampu membunuh bangsawan yang telah menghabisi keluarganya ataukah terjebak kisah asmara dengan si pembunuh? CINTA atau DENDAM yang akan i...