Tiga

7.4K 576 6
                                        

Jam tujuh tepat aku sudah bersiap-siap, mulai dari mandi dan setidaknya sudah ber make-up.
Aku sudah paham, kalau sampai aku membiarkan Arka menungguku dandan, maka bisa dipastikan dalam waktu setengah jam pertama sejak masuk mobil, laki-laki itu pasti akan mendiamkanku.
Dan tepat pukul setengah delapan, pintu apartemenku diketuk oleh Arka.

"Udah siap?"

Seperti biasa, tanpa basa-basi, Arka langsung menerobos masuk ke ruang tamu, meletakkan tasnya di sofa, dan melonggarkan dasinya.

"Duduk dulu, itu aku udah bikinin teh lemon.."
Aku beranjak ke dapur dan mengeluarkan satu gelas lock and lock berisi teh lemon yang biasa kubuatkan untuk Arka, lalu meletakkannya di meja ruang tamu.
Sementara yang disuguhi dengan entengnya berselonjor di sofaku, sambil memiringkan badannya.

"Makasih ya.."

Aku mengangguk sambil ikut duduk di salah satu sofa yang ditiduri Arka.

"Capek banget? Istirahat dulu aja, kan besok libur.."

Yang ditanyai cuma bergumam sambil menenggelamkan wajahnya pada bantal sofa yang kusediakan.

"Ya udah, merem beberapa menit dulu aja. Aku siap-siap bentar.."

"Nah itu udah dandan, mau siap-siap apa lagi, Na?"

Kali ini Arka membuka bantal yang menutupi wajahnya.

"Itu kalau kamu mau nahan malu karena jalan sama cewek yang masih pake baby doll.."

Arka tertawa sambil kembali menutupi wajahnya dengan bantal.

---------
"Kamu ya, ke bakmi aja dandan segala. Aku lho nggak keberatan kamu nggak pake make up."

Agak heran aku sebenarnya pada Arka kali ini, mendadak ia jadi super cerewet bahkan pada hal-hal remeh yang biasanya sama sekali tidak menjadi masalah.

"Aku yang keberatan kalo jalan sama kamu tapi nggak dandan. Lagian siapa bilang kita cuma mau makan bakmi aja?"

Arka yang serius menatap jalanan dibalik kemudi mendadak menoleh kearahku.

"Lho emangnya mau kemana lagi?"

"Kan tadi aku udah bilang mau nagih pajak dicuekin.."

"Kirain cuma mau dicium.."

"Aww aduh.."

Kali ini Arka tergelak sembari mengelus-elus lengannya yang menjadi sasaran cubitanku barusan.
Suka asal emang dia kalo bercanda.

"Iya iya maaf, maksudku emangnya kamu mau pajaknya dalam bentuk apa nih?"

"Jangan lipstick lagi. Aku belum gajian.."

Tawaku pecah mendengar ucapan polos dari Arka barusan.
Aku jadi ingat kejadian ulangtahunku ke dua puluh enam, Maret lalu.
Mungkin karena takut aku kurang berkenan dengan hadiahnya, jadilah Arka dengan sok-nya menawariku ingin hadiah ulangtahun apa.
Akhirnya setelah berdebat panjang lebar soal hadiah apa, akhirnya pilihanku jatuh kepada salah satu seri lipstick.

Awalnya Arka senyam-senyum, berpikir bahwa toh cuma lipstick yang pada akhirnya kuminta. Sampai akhirnya dia tahu harga lipstick itu, dan kami pulang dari salah satu gerai make up dengan keadaan Arka yang ngambek dan menolak berbicara denganku sampai satu jam setelahnya.

"Nggak paham aku kenapa lipstick aja harganya segitu. Lama-lama seluruh make-up mu bakalan ku audit biar aku tahu, kamu nggak boros dalam hal yang nggak penting semacam itu."

Aku masih menahan tawa melihat wajah sebal Arka di mobil.

"Eh enak aja dibilang nggak penting. Yang namanya lipstick itu ya tetap penting buat perempuan. Lepas dari harganya berapa lho ya.."

Aku masih tidak mau kehilangan kesempatan untuk membantah.

"Iya aku paham memang penting, aku juga nggak keberatan kok buat beliin kamu toh kamu dandan juga hasilnya aku suka. Cuma ini lipstick lho ya, begitu nempel di bibir juga aku nggak tahu itu bedanya harga satu juta sama seratus ribu."

Refleks aku memukul lengan Arka lagi, sedangkan yang kupukul justru cuma tertawa tawa sambil menahan kesakitan karena lengannya jadi sasaranku.

---------

"Bukan lipstick kok, aku cuma lagi pengen makan burjo. Kamu kan hampir selalu nolak tuh kalau kuajak makan disana.."

"Ya aku nggak suka bubur.."

"Ya udah temenin aja. Aku kan juga nggak begitu suka bakmi, beda sama kamu. Ketemu bakmi kaya' ketemu pacar. Semangat banget."

Arka terkekeh.

"Tapi aku kalo ketemu kamu biasa aja tuh, nggak nambah semangat-semangat juga."

"Oh.."

"Cuma nambah sedih aja.."

Aku masih diam. Kesel juga lho, udahannya respon-nya negatif, masih ditambah pula alasannya.

"Sedih karena harus pulang kalo udah malem.."

Aku menoleh cepat kearah Arka yang masih dengan wajah datarnya, bahkan meskipun baru saja mengatakan hal-hal semacam tadi.

"Oh, maunya nginep?"

"Bukan.."

"Terus?"

Kali ini Arka justru diam mendengar pertanyaanku yang terkesan retoris itu.

"Iya terus kamu maunya apa, Ka?"

"Nggak ada. Udah ah, ayo kamu turun nggak? Hampir penuh lho itu parkirannya."

Kali ini seperti biasa Arka langsung menyelesaikan ucapannya tanpa bertanggungjawab karena sudah membuatku penasaran.

Dan sekali lagi, aku hanya menurutinya dan turun dari mobil mengikuti si pemilik yang susah ditebak apa maunya itu.

Burnt Bridge (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang