"Ayah sama Ibu ndak papa, Nduk. Jodoh kan memang ndak bisa dipaksakan. Tapi kamu sendiri, ndak papa?"
Selang seminggu kemudian, aku memutuskan pulang kerumah Ayah dan Ibu. Selain untuk mengunjungi mereka, tentu saja aku harus segera memberitahu soal putusnya aku dan Arka, bukan?
Dan jawaban itulah yang akhirnya kudapatkan setelah susah payah memilih dan mencari kalimat yang tepat untuk memberitahu mereka berdua.Aku memandangi kedua wajah Ibu dan Ayah yang saat ini masih menunggu jawabanku.
Aku cuma mengangguk.
"Aku nggak papa, Yah. Aku justru bingungnya gimana cara kasih Ayah sama Ibu."Kali ini tawa Ayah akhirnya lepas, sedang Ibu disebelahku cuma mengelus-elus punggungku.
"Wong namanya pacaran ya wajar kalau putus, ya nggak, Yah?"
Kalimat Ibu kembali membuatku merasa lega.
"Kalau memang masih belum bisa cerita alasannya, nggak papa, Ibu yakin nanti kamu pasti cerita sendiri.."
Aku memang belum menjelaskan secara rinci alasan apa yang membuatku dan Arka putus, kepada mereka berdua, selain soal ketidakmampuan kami untuk saling komunikasi.
"Ayah Ibu-nya Arka sendiri gimana? Sudah tahu?"
Aku menggeleng.
"Nggak tahu aku, Yah. Aku udah nggak komunikasi sama Arka lagi, terakhir aku diundang ke nikahannya sepupunya sama Ibunya Arka, tapi aku akhirnya bilang nggak bisa datang karena ada urusan di Solo. Habis itu ya aku nggak tahu lagi.."Ayah cuma mengangguk-angguk paham.
"Ya udah, orangtuanya Arka biar jadi tugasnya Arka. Yang penting sekarang Ibu sama Ayah kan udah tahu, jadi kita juga ngerti gimana harus bersikap sama Arka.."
Sekali lagi aku harus bersyukur, karena setidaknya beban soal orangtua-ku ternyata jauh lebih mudah untuk diatasi.
Ibu ada benarnya juga, masalah orangtuanya Arka, biar itu jadi urusan Arka sendiri dulu.
-----------
Setelah beberapa hari dirumah, aku memutuskan kembali kerumahku sendiri.
Draft tulisan yang berbulan-bulan kukerjakan, rasanya juga sudah hampir menemukan titik jelasnya.
Satu hal yang ikut kusyukuri setelah putus hubungan adalah pada akhirnya pikiranku justru bisa kusibukkan untuk kembali menulis. Bahkan aku mulai aktif menulis di blog dan website pribadiku.
Hal yang hampir selama berbulan-bulan kutinggalkan.Aku tidak memungkiri, ada kalanya aku mulai merindukan Arka, merasa kehilangan pesan-pesan singkatnya, dan terkadang sangat ingin mencaritahu bagaimana kabarnya setelah putus denganku.
Tetapi rasanya Arka memang tetap seorang Arka. Tidak banyak jejak di sosial medianya kecuali satu foto baru di Instagram-nya. Foto meja kerjanya, tanpa wajah dari si pemilik meja itu sendiri.
-----------
"Na, jalan, yuk?"
Aku mengecek sebuah pesan baru dari Reyhan.Tumben ini anak ngajakin jalan.
Sesaat aku berpikir bahwa mungkin saja Reyhan sudah tahu bahwa aku dan Arka putus, tapi rasanya mustahil kalau seorang Arka bisa seember itu soal privasinya.
Aku bahkan masih ingat soal Arka yang tidak cerita apapun soal hubungan kami dari mulai pendekatan, sehingga Reyhan justru baru tahu ketika aku dan Arka jadian sudah lebih dari tiga bulan.Jadi mungkin memang ini murni ajakan nongkrong seperti biasa.
"Dimana? Jam?"
Aku segera membalas pesan singkat Reyhan, dan membuat anak itu justru balas menelepon."Malioboro Mall aja gimana, Na? Ini sebenernya aku sama Mas Ferdi barusan cek lokasi di Mutiara, trus laper deh. Susulin kesini ya?"
"Tunggu bentar ya, aku otw."
--------
"Tumben sampe ngerjain klien sendiri, Mas?"
"Masalah bawa nama keluarga ini, Na. Repot aku kalo sampe nggak turun tangan sendiri."
Aku terbahak melihat Mas Ferdi yang biasanya hampir tidak pernah sampai ikut turun tangan untuk mengerjakan project, bahkan sampai harus mau repot-repot cek lokasi.
"Sampe kucariin wedding planner sendiri, Na, ga pake orang kita.."
Reyhan menambahkan. Kali ini kami memilih ngopi-ngopi santai di JCo, sambil menikmati suasana riuh Malioboro yang selalu jadi favoritku."Sepupu?"
"Iya, sodaranya Vira sama Angga juga itu. Oh iya, Angga masih disini nggak, Na?"
Aku hampir tersedak donatku sendiri. Lah, yang sodaranya siapa, tanyanya ke siapa.
"Ya aku nggak tau, Mas. Nggak kontakan emang?"
Mas Ferdi seperti tidak memahami keterkejutanku saat ia tiba-tiba membahas Angga sekarang. Dan Reyhan, ekspresi wajahnya masih datar, terlihat ia memang tidak tahu apa-apa soal hubunganku dan Arka yang sudah berakhir.
"Halah Angga mah kelihatannya doang sodaraan sama aku sama Vira, tapi susah banget buat tau kabarnya. Kemarin aja mau datang pas kita dinner itu udah alhamdulillah banget."
Mas Ferdi menjelaskan, sedangkan aku cuma tersenyum, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.
"Gimana kabar kerjaan? Novel barumu lancar?"
"Alhamdulillah, Mas, kemarin draft terakhir baru selesai. Tinggal one last touch sebelum aku ajuin ke editorku."
"Kalo Arka, apa kabar?"
Aku hampir tersedak dua kali, dan kali ini penyebabnya adalah pertanyaan spontan dari Reyhan.
Aku terpaksa diam sejenak untuk mengendalikan emosiku, sebelum akhirnya menjawab singkat.
"Baik."
"Na, balik ke Gamma gih.."
Aku menatap baik Mas Ferdi maupun Reyhan secara bergantian. Mas Ferdi yang mengucapkan hal barusan, dan Reyhan yang sepertinya sudah tau, cuma menggerak-gerakkan alisnya meminta jawabanku.
"Tunggu bentar, deh. Jadi ini ceritanya kalian berdua sekongkol buat mojokin aku buat balik ngantor?"
Aku menanggapi ucapan Mas Ferdi barusan dengan candaan.
Jujur tawaran kembali ke Gamma itu mendadak terdengar menarik, apalagi mengingat bahwa sekarang aku sedang gencar-gencarnya mencari kesibukan untuk sejenak "move on" dari urusan pribadiku."Masalahnya kita beneran nggak bisa gantiin tempat kamu, Na. Berkali-kali kita nyoba cari orang baru, bahkan sampe nyoba rolling orang lama di tempatmu, tapi tetep aja, nggak ada yang bisa kaya' kamu, Na.."
Aku sejenak terharu dengan ucapan panjang lebar Mas Ferdi. Seumur-umur merasakan bekerja, rasanya memang baru di Gamma aku bisa menemukan kenyamanan untuk bekerja dengan tim. Berbeda kalau dengan menulis.
Dalam menulis, aku hidup dan bekerja dengan diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain, kecuali sebagai sumber dan referensi.
Singkatnya, menulis adalah tempatku untuk menikmati waktu bekerja sendiri.
Sementara di Gamma, aku harus bekerja dengan tim.
Sebuah pekerjaan yang membuatku belajar untuk tidak menjadi egois."Habis ini bukumu terbit. Kamu juga pasti masih butuh waktu lagi untuk nulis buku baru lagi, kan? Kenapa nggak waktu jeda itu kamu pake buat balik ke Gamma? You know you're always welcome.."
Aku masih berusaha mencerna setiap penjelasan Mas Ferdi. Sedangkan Reyhan, memilih untuk menjadi pendengar yang baik, dan tetap berada di pihak Mas Ferdi, alias tetap menghujaniku dengan tatapan mata menuntut jawaban "ya".
"Kamu tetap bisa jadi penulis profesional walaupun kerja di kantor, Na. A pearl will always be a pearl, wherever it is. Everything will fall into place.."
Aku dan Reyhan tertawa bersamaan. Baru kali ini rasanya aku melihat sisi lain Mas Ferdi yang biasanya asal nyeplos dan paling tidak bisa bermulut manis itu.
Dan kali ini ia melakukannya didepanku.Lalu hal terakhir yang kudapati sore itu adalah bagaimana aku mengangguk dengan gampangnya, dan Reyhan serta Mas Ferdi yang menyalamiku berkali-kali.
Aku butuh "air baru" untuk bernafas lagi.
Dan aku tahu, keputusan kembali ke Gamma mungkin adalah "air baru" itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Burnt Bridge (Completed)
Romance"Aku pernah membaca di sebuah novel favoritku semasa SMA dulu, bahwa menjalin hubungan, apapun itu, dengan siapapun itu, layaknya membakar sebuah jembatan." Buuum! And there is no turning back. Begitu pula aku kepadanya. Sayangnya hanya aku yang me...