Part 36

5.4K 427 10
                                    

Aku masih memilih diam untuk menanggapi ucapan spontan dari Arka barusan. Laki-laki itu masih terlihat tenang, bahkan meski ia tahu, apa yang ia ucapkan berdampak besar terhadap perasaanku.

"Ya aku tahu kamu nggak akan janji macam-macam, Ka. Tapi, kaya'nya aku belum bisa."

Arka terlihat terkejut, namun segera bisa menguasai dirinya kembali. Ia masih melanjutkan makannya sambil sesekali mengarahkan pandangannya kepadaku.

"Karena?"

Satu pertanyaan singkat, yang jelas pastinya harus kuikuti dengan penjelasan panjang.

"Nggak semudah ini, Arka. Okelah, selama kamu kembali, kamu hampir selalu ada buat aku, tapi setelah itu? Kamu bisa memastikan kalau kamu nggak akan seenaknya seperti dulu lagi? Aku perempuan biasa, Ka, aku butuh dianggap bahkan ketika kamu jauh sekalipun."

Arka menghentikan makannya dan mulai menatap kearahku.

"Aku nggak paham apa yang kamu bilang dengan seenaknya, Na."

Arka berkata singkat, kali ini ia benar-benar hanya melihat kearahku.

"Ini, Ka. Ini yang aku bilang kamu seenaknya. Bahkan sejak kali pertama kamu ke Surabaya, pernah nggak kamu berpikir buat setidaknya bilang sama aku dari jauh-jauh hari? Aku tahu, aku juga nggak mungkin bersikap kekanakan dengan melarang kamu pergi, tapi minimal bicara, Arka. Dan sikap kamu, yang mendadak ada, terus hilang lagi, muncul lagi tiba-tiba ngajak balikan. Aku nggak bisa menghadapi sikap kamu yang seperti itu, Ka."

Semua isi pikiranku mendadak keluar begitu saja. Entah akhirnya nanti Arka mengerti atau tidak, setidaknya aku sudah berusaha menjelaskan.

"Aku paham, sebagai laki-laki, ada banyak hal yang menurut kamu lebih baik kamu selesaikan dan kamu atasi sendiri, karena mungkin, melibatkan aku, cuma akan membuat kamu makin kesulitan memutuskan sesuatu. Tapi kalau kamu mau kedepannya kita punya hubungan lebih, nggak bisa kalau seperti itu terus, Ka. Dan kalau kamu maunya perempuan yang apa-apa tahu jadi, tanpa tahu proses atau penjelasannya, aku sarankan kamu cari orang lain. Jangan aku."

Kali ini Arka benar-benar terlihat terkejut. Rahangnya bahkan terlihat mengeras, mungkin ia menahan emosinya untuk tidak membantah semua ucapanku.

"Sebut aku perempuan nggak tahu diri atau apapun, Ka. Tapi aku bener-bener nggak bisa kalau disuruh menghadapi ego yang kamu punya, seumur hidup."

"Na."

Arka terlihat akan memotong ucapanku.

"Sebentar, aku belum selesai."

Sekali lagi ia cuma mengangguk dan membiarkanku melanjutkan ucapanku.

"Dan soal Bianca. Aku rasa ini kesempatan terakhir buat kamu menjelaskan, kenapa aku harus ketemu dia dirumahmu waktu itu. Aku nggak--"

"Kanaya. Bianca Halim itu calon istri Rega, sepupuku."

Kali ini aku yang terkejut. Arka dengan cepat memotong ucapanku, bahkan tanpa memberiku kesempatan untuk melanjutkan kalimatku seperti tadi.

"Calon istri Rega?"

Aku ingat siapa Rega itu. Dia adalah sepupu Arka yang tidak lain juga kakak kelasnya. Rega juga seorang pengacara yang sudah hampir empat tahun ini menetap di Surabaya.

"Aku yakin kamu masih ingat sama Rega. Mereka mau tunangan awal bulan depan, dan kemarin Bianca memang pulang bareng aku, tapi karena di rumah Jogja nggak ada orang sama sekali, dan kebetulan Ayah dan Ibu dirumah, jadilah Rega minta Bianca untuk nunggu dia dulu dirumahku. Karena disana ada Ayah sama Ibu."

Aku terdiam. Penjelasan tenang Arka seperti sedang menertawakan sikapku sendiri barusan.

"Malam itu juga Rega langsung jemput Bianca, kok."

Burnt Bridge (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang