Lima

6.6K 472 2
                                    

Tepat jam sembilan pagi, aku sudah duduk di coffee shop yang letaknya di lantai dua gedung perkantoran yang juga merupakan gedung tempat penerbit bukuku berada.

Mbak Ode sempat mengirimkan pesan singkat dan mengatakan ia akan turun sekitar setengah jam lagi, karena ada meeting sebentar dengan bagian editor lain.

Aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku bar, sembari memilih-milih kopi dan camilan apa yang cocok untuk pagi itu.

"Mbak Kana lama banget nggak muncul, sibuk banget, nih?"
Ucapan Rinald, salah satu bartender yang bertugas pagi itu membuatku tertawa singkat.

"Iya Nald, sibuk menyibukkan diri."

Rinald mencebik sambil menghidangkan secangkir teh madu hangat pesananku.

"Aku sih jelas nggak percaya sama Mbak Kana, penulis mah jawabannya banyak. Persiapan pernikahan sama Mas Arka, ya?"

"Kamu tuh ya, lama-lama udah mirip sama Budhe-Budheku, dikit-dikit bahas nikah."

Gantian Rinald yang tertawa, sementara tangannya sibuk menyiapkan kopi buatanku.

"Kapan hari Mas Arka mampir kesini tuh, katanya lagi sibuk persiapan. Hayo persiapan apa coba?"

Teh madu yang kusesap hampir membuatku tersedak karena terkejut dengan apa yang barusan dikatakan oleh Rinald.

Arka mampir kesini?
Sibuk persiapan?
Persiapan apa?

"Mbak? Kok ngelamun? Lupa belum bayar tagiahan penjahit ya?"
Rinald masih tak hentinya menggodaku rupanya.
Padahal dalam otakku mulai memikirkan banyak kemungkinan apa yang membuat Arka, yang biasanya jarang mampir ke coffee shop itu mendadak mampir tanpa aku, dan persiapan macam apa yang sedang ia sibukkan sekarang.

"Tuh, pancake-ku tuh, keburu dingin kalo nggak kamu bawa kesini."
Ujarku mengalihkan pertanyaan Rinald, sambil menunjuk pancake madu pesananku yang baru diantarkan salah seorang baker dari dapur.

"Special honey pancake with eighty percent dark chocolate and iced americano for Kakak Kana yang pagi ini sedang galau karena memikirkan tagihan wedding venue.."

Ucapan konyol Rinald saat menghidangkan pesananku, sekali lagi membuatku terkekeh.
Wedding venue apaan..

----------
"Wajah penulis best seller kok sendu begini pagi-pagi. Kurang kopi apa kurang asupan cinta kasih?"

Aku mencibir ucapan Mbak Ode, lalu mengikuti perempuan itu untuk duduk di salah satu bangku dekat jendela kaca.

"Selamat ya Kanaya Aditama Soerja, ini kalau terus meningkat, novelmu bisa dilirik produser film lho.."

"Jangan kesitu dulu, Mbak. I'm still not used to it."

Mbak Ode tertawa mendengar jawaban pesimisku. "You'll get used to. Dinikmati aja, Na. Gimana kabarmu akhir-akhir ini?"

"Aku baik banget, Mbak. Cuma aku belum siap setor tulisan baruku aja, sih.."

Senyumku terlihat getir dan dipaksakan.
Bagi sebagian orang mungkin ini terkesan berlebihan, tetapi bagiku yang menganggap menulis itu adalah satu-satunya, maka tidak bisa menulis lagi sama artinya dengan kehilangan nyawa.
Bukan cuma pembacaku yang kangen dengan buku baruku, karena bahkan si penulisnya sendiri juga rindu menulis dan membaca ulang tulisannya.

"Udah jangan dipaksain, ambil break dulu, jalan-jalan dulu, apa nikah dulu gitu sama Pak Pengacara.."

"Dikata nikah buat ngisi waktu luang.."

Aku mencibir Mbak Ode yang justru menanggapi gerutuanku dengan tertawa.

"Pak Pengacara gimana kabarnya? Masih dingin dan misterius nggak? Suamiku ngajakin double date lagi tuh.."

Jawabanku tersela kedatangan salah satu pramusaji yang mengantarkan nasi goreng dan teh camomile pesanan Mbak Ode.

"Tumben nasi?"

"Didn't you see something popped up in my belly?"
Dengan gaya centil khas-nya, ucapan bernada pertanyaan dari Mbak Ode membuat kedua mataku terbelalak melihat kearah kedua tangannya yang mengusap-usap perutnya.

"Mbak Ode hamil? Kok nggak cerita ih jahat.."
Tanganku terulur untuk menyentuh perut Mbak Ode yang masih belum membuncit itu.

"Masih beberapa minggu kok, alhamdulillah anaknya pinter banget. Paham emaknya kerja ribet, jadinya gak minta macem-macem kecuali nasi doang. Bye-bye diet karbo deh.."

Aku terbahak, mengingat Mbak Ode yang hampir tiga tahun tidak lagi makan nasi karena diet-nya, padahal badannya juga terhitung masih keren untuk hitungan perempuan yang sudah menikah.

"Back to topic, Pak Pengacara dingin gimana?"

Aku tertawa kecil mendengar desakan Mbak Ode, sepertinya memang topik soal Arka jauh lebih menarik perhatiannya daripada bicara soal kehamilannya kali ini.

"Ya masih begitu aja sih, cuma kemarin barusan nampar aku aja."

Mbak Ode meletakkan sendoknya dengan kasar.

"What? Mulai main tangan? Nggak bisa sesantai itu lah.."

Gantian aku yang tertawa kali ini.

"Pake kata-kata, Mbak. Dia kan ahli itu bikin aku mingkem pake ucapannya."

"Oalah kirain pake yang lain.."

"Mulai deh.."

-----------

"Ya menurutku emang bener sih apa yang dibilang Arka. Pekerjaan sebagai penulis ini kan pekerjaan yang kamu cintai, jadi kenapa harus bikin kamu stress sampai sebegininya?"

Mbak Ode ikut manggut-manggut setelah mendengar cerita lengkapku soal ucapan Arka semalam.
Ucapan yang masih membuatku berpikir sampai sekarang.

"Aku bukannya stress, Mbak. Cuma kaya' belum bisa nemu aja kalimat buat ditulis. Dan itu bikin aku bingung, Mbak. Ditambah lagi Samudera bisa best-seller, aku makin tertekan rasanya.."

Akhirnya apa yang membuat pikiranku tertahan, mulai kuungkapkan pada Mbak Ode.

"Na, aku emang bukan penulis dan nggak ngerti seperti apa beban yang kamu rasain sekarang, tapi tolong jangan tekan diri kamu sendiri kaya' gini. Let it flow, Na. Tulisan nggak akan muncul dalam keadaan pikiran kamu sendiri yang nggak settle begini.."

Apa yang dikatakan Mbak Ode juga ada benarnya.
Aku nggak bisa memaksa diriku sendiri menulis cuma karena aku butuh membayar egoku sebagai seorang penulis yang bukunya baru saja best-seller, dan harus segera menulis bukunya lagi.
Melainkan aku menulis karena aku ingin menulis.
Seharusnya sesederhana itu, tetapi entah kenapa rasanya masih sulit.

"Pak Pengacara belum ada tanda-tanda mau ngelamar, nih?"

Lagi-lagi aku tertawa. Selama setahun lebih pacaran dengan Arka, rasanya memang hampir tidak pernah kami menyinggung soal hubungan yang lebih jauh dari ini.

"Rinald bilang kapan hari dia mampir kesini, sendirian. Terus cerita kalo Arka lagi sibuk persiapan, tau persiapan apa. Nggak pernah cerita aku juga.."

"Nah itu, siap-siap aja, kali-kali dia mau ngelamar. Modelan Arka begitu nggak mungkin bisa yang menye-menye, palingan dia langsung dateng sama orangtuanya. Des! Langsung akad deh besoknya."

Aku mencibir.

"Dikata novel apa.."

Mbak Ode mengelus punggung tanganku pelan.

"Yang tenang. Dipikirin satu persatu, novel dulu atau Pak Pengacara dulu. Aku dulu aja pacaran hampir lima tahun sebelum manteb nikah."

Kali ini aku yang tersenyum, sembari menenangkan diri sendiri atas segala pikiran yang mulai makin macam-macam itu.

Burnt Bridge (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang