Tambahan satu minggu lagi untuk sesi diamku dan Arka kali ini. Sebenarnya selama setahun lebih pacaran, kami berdua bukan tipe pasangan yang suka menyimpan marah dan masalah sampai berlarut-larut.
Apapun yang sekiranya menganggu, aku dan dia lebih sering membicarakannya langsung. Tetapi kali ini, rasanya baik aku maupun Arka sedang dalam ego masing-masing.
Sama sekali tidak ada upaya yang bisa kami lakukan selain menyerah dalam emosi.Aku, jelas tidak ingin mengalah. Bukan hanya karena ucapan Arka yang jelas-jelas masih terasa menyudutkan hubunganku dengan Angga yang padahal memang tidak ada apa-apa.
Dan Arka, entahlah, apapun yang ada dalam pikirannya memang selalu menjadi satu hal yang paling sulit untuk kupahami.Jam tiga sore, aku mengemasi barang-barangku, menyiapkan laptop sekaligus charger-nya, dan memasukkan beberapa file kertas coretanku ke dalam tas punggung.
Kali ini aku berencana untuk mengungsi di tempat lain, dan tempat lain yang kupilih itu adalah sebuah kapsul hotel yang letaknya lumayan jauh dari apartemenku.
Aku hanya membutuhkan ruang baru, barang sehari atau dua hari, untuk merapikan draft tulisanku yang selama dua minggu ini berhasil kutuliskan meski masih sangat berantakan.
Aku memutuskan untuk tak menghubungi Arka, menganggap bahwa kesibukan kami masing-masing memang sudah seharusnya menjadi prioritas.
"Na?"
Aku segera mengangkat teleponku yang baru saja berdering, dan ternyata dari Mbak Ode."Iya, Mbak. Ada apa? Tumben nelepon?"
"Ketemu bentar, bisa, nggak? Kusamper ke apart gimana?"
"Eh jangan, Mbak. Aku aja yang ke kantor. Lima belas menit lagi aku berangkat, ya."
-------------
Memasuki gedung kantorku, aku memilih untuk menunggu Mbak Ode di coffee shop langgananku.
Kali ini suasananya cukup sepi sehingga aku tidak perlu banyak berbasa-basi dengan orang-orang yang mungkin memang tidak ingin kutemui."Hei, udah lama?"
Aku bangun dari dudukku dan menyambut pelukan singkat Mbak Ode. Perempuan itu kelihatan makin cantik dengan pipi-nya yang semakin chubby dan perutnya yang terlihat mulai berisi, berbeda dari pertemuan terakhir kami kemarin."Tas gede banget, mau minggat?"
Mbak Ode langsung menunjuk tas punggung hijau lumut yang kuletakkan disampingku.Aku cuma mengangguk.
"Gila. Mau kemana kamu, Na? I'm forcing you too much, am I?"
Aku tertawa kecil melihat reaksi berlebihan Mbak Ode kali ini.
"Aku butuh short getaway aja, Mbak. Nggak jauh kok. Mau sewa kapsul aja di deket Kaliurang.."
Mbak Ode masih mengernyitkan keningnya tanda belum memahami ucapanku.
"Short getaway kok masih di sini-sini aja. Kenapa nggak sekalian ke Surabaya? Samperin Arka gitu?"
Aku tersenyum singkat.
Kali ini obrolan kami terjeda kedatangan pramusaji yang mengantarkan fettucini carbonara-ku dan roti panggang gandum cokelat pesanan titipan Mbak Ode."Tell me you two are okay.."
Percuma memang menyembunyikan apapun dari Mbak Ode ini, tanpa aku memberikan kode pun, ia ternyata sudah lebih paham duluan.
"We're not, Mbak. Hampir sebulan lebih hubungan kami isinya cekcok receh nggak penting."
Mbak Ode masih diam menunggu penjelasanku.
"Dan kapan hari aku ketemu Angga.."
"Mantanmu itu?"
Aku mengangguk, dan Mbak Ode memberi isyarat agar aku melanjutkan ceritaku.
"Dan Arka menganggap itu salah satu alasan kenapa hubungan jarak jauh kami terganggu."
"Dia ngomong gitu?"
"Nggak secara langsung begitu sih, Mbak. Ya memang kemarin salahku, aku terlalu cemburu pas lihat ada adik kelasku ternyata klien-nya Arka, tapi aku nggak nyangka aja argumen Arka masih dihubungkan ke Angga.."
Mbak Ode tertawa pelan.
"Receh kan?"
Mbak Ode mengangguk, tapi kemudian wajahnya kembali serius.
"Tapi masalah kalian bukan disitu, Na.."
-------------
Aku memutuskan untuk tidak menginap di kapsul hotel dan memilih salah satu guest house yang letaknya juga di daerah Kaliurang, dekat dengan salah satu universitas swasta di Jogja.
Aku mendapat rekomendasi penginapan itu dari kenalan Mbak Ode.
"Kamu butuh tempat seger buat rapiin draft-mu, Na. Bukan cuma jauh aja.."
Guest house yang ditawarkan Mbak Ode ini ternyata memang cukup menenangkan untuk ukuran seseorang yang butuh tempat singgah seperti aku sekarang.
Terdapat banyak pavilliun-pavilliun dengan satu ruang tamu di masing-masing terasnya, dan sebuah tea house yang mirip dengan cafe kebun yang letaknya tepat di depan pavilliun yang kusewa.
Aku segera mengeluarkan barang-barangku dari dalam tas, menata draft dan laptopku di meja kecil yang disediakan, dan memutuskan untuk merebahkan badan sambil menonton TV sebelum melanjutkan tulisanku.
Agak bodoh memang, memilih tempat senyaman ini untuk kabur. Karena pada kenyataannya aku justru mengantuk dan ketiduran.
Aku baru bangun ketika jam di ponselku menunjukkan pukul sepuluh malam, jauh dari perkiraanku yang hanya butuh istirahat sekitar beberapa menit saja.
Ponselku kembali berdering, dan kali ini aku justru mendapati nama Arka tertera di layar ponsel hitamku.
"Assalamualaikum, Na.."
"Waalaikumsalam.."
"Kamu dimana?"
Aku hampir mengumpat karena pertanyaan singkat Arka ternyata cukup membuatku berdebar. Bagaimana mungkin ia bisa langsung menanyakan hal seperti itu di telepon pertama kami setelah berminggu-minggu saling diam?
"Ya aku di Jogja, ada apa?"
"Iya paham, maksudku lagi dimana? Aku harus ada apa-apa dulu buat nelepon kamu?"
"Aku lagi ada urusan di luar bentar, Ka.."
"Aku didepan apartemen kamu sekarang, Na.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Burnt Bridge (Completed)
Romance"Aku pernah membaca di sebuah novel favoritku semasa SMA dulu, bahwa menjalin hubungan, apapun itu, dengan siapapun itu, layaknya membakar sebuah jembatan." Buuum! And there is no turning back. Begitu pula aku kepadanya. Sayangnya hanya aku yang me...