Part 31

5.1K 422 6
                                    

"Hatiku yang sakit kalau begitu ceritanya, Na."

Setelah mengucapkan hal barusan, Arka kembali menjauhkanku dari pelukannya. Ia menatapku dalam-dalam, seolah sedang berusaha menjelaskan sesuatu.
Sementara aku, karena masih dikuasai emosi, memilih untuk menghindari tatapannya.

Pelan tangan Arka meraih wajahku, menangkupkan kedua telapak tangannya pda kedua pipiku. Ia mendekatkan wajahnya kearahku, dan entah kenapa, secara refleks aku menutup kedua mataku.

Dalam hitungan sepersekian detik, aku merasakan bibir Arka menyentuh bibirku lembut. Ia mendiamkan, seolah hanya sedang menempelkan kedua bibir kami, membiarkan aku merasai sendiri emosi yang juga sedang berusaha disalurkan Arka melalui ciumannya kali itu.

Aku semakin menutup erat kedua mataku, dan merasakan bagaimana reaksiku, Arka justru semakin memperdalam ciumannya. Membungkamku yang saat ini hanya bisa merasakan nyeri pada hatiku sendiri.
Aku tahu ini salah. Aku paham bahwa hal meskipun hal ini terjadi, Arka tetap tidak akan melihatku lebih dari seorang teman.

Ia semakin memperdalam ciumannya, sementara kedua tangannya menahan tubuhku didalam pelukannya. Tanpa sadar aku justru balas mengalungkan kedua tanganku di leher Arka, membuat laki-laki itu seolah mendapat persetujuan untuk bertindak lebih.

Aku menangis sekali lagi.
Menyadari bahwa sekalipun ada sesuatu yang bisa saja terjadi malam ini, maka tidak ada sesuatu yang bisa kuselamatkan, tanpa terkecuali hatiku sendiri.

Arka mungkin melakukannya karena ingin.
Sementara aku tahu, tidak ada yang bisa kumiliki dari laki-laki yang sedang menciumku saat ini.

Mendadak Arka melepaskan ciumannya. Membuatku segera mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Aku bahkan tidak tahu, ciuman Arka bisa se-melumpuhkan ini ternyata.

"Maaf, Na. Aku antar kamu balik, ya."

Dan syukurlah. Sebelum sempat terjadi sesuatu yang lebih jauh lagi, Arka sudah sadar diri dan bangkit dari duduknya.
Meninggalkanku untuk menuju kamarnya.

-------------

Sepanjang perjalanan, baik aku maupun Arka memilih sama-sama diam. Kami berdua mungkin sama-sama baru menyadari bahwa yang baru saja terjadi tadi adalah tindakan terjauh kami selama ini.

Bahkan meskipun berpacaran, aku dan Arka sama sekali tidak pernah melakukan apapun kecuali ia mencium keningku.
Tapi yang tadi? Aku bahkan masih mengingat bagaimana lembutnya bibir Arka yang menciumku. Pelan, sama sekali jauh dari kesan terburu-buru. Seolah ia sendiri juga amat sangat takut jika itu akan menyakitiku.
Walaupun yang sebenarnya terjadi adalah, hatiku yang nyeri.

Sebelah tangan Arka pelan menggenggam kedua tanganku yang kutangkupkan di pangkuanku sendiri.

"Jangan sampai kamu sejauh itu sama siapapun, Na."

Aku tersentak mendengar ucapan singkat bernada kaku dari Arka barusan.
Sementara tangannya semakin mempererat genggamannya.

"Aku nggak bisa, Na."

Aku masih memilih bungkam, membiarkan Arka melanjutkan kalimatnya.

"Aku nggak bisa membayangkan kamu sampai harus sejauh itu dengan laki-laki lain, Na. Aku nggak bisa berpikir kalau nanti, bisa saja kamu melakukannya dengan orang lain. Aku nggak bisa membiarkan kamu berada di pelukan orang lain, Na. Aku nggak bisa melepas kamu."

Kalimat Arka mengalir lancar dari mulutnya. Membuatku hanya bisa memandangi tanganku yang masih erat didalam genggamannya.

"Aku mohon kamu katakan sesuatu, Na. Apapun itu. Kamu boleh marah atau apapun sama aku karena tindakan lancangku tadi. Kamu boleh semarah apapun, tapi tolong, jangan diam seperti ini, Na."

Entah bagaimana ceritanya Arka bahkan sudah meminggirkan mobilnya. Kali ini kedua tangannya menggenggam kedua tanganku erat-erat.

Ada nada menyesal yang kudapati dari suaranya.

"Aku.. nggak bisa, Ka."

Pelan aku berusaha melepaskan genggaman tangan laki-laki itu.

"Sikap kamu, tindakan kamu, ucapan bahkan ciuman kamu tadi, sama sekali nggak bikin aku marah. Yang bikin aku marah justru diri aku sendiri. Karena mau seperti apapun kita memperbaiki hubungan ini, percuma rasanya, kalau kita tetap nggak saling tahu apa mau kita masing-masing."

Arka melepaskan genggamannya. Kali ini ia memberiku tatapan tidak mengerti.

"Kita sudah pernah mencoba satu tahun dan gagal cuma karena kita beda kota waktu itu."

Arka masih memilih untuk diam.

"Kita hampir selalu kesulitan berkomunikasi karena antara kamu dan aku sama-sama masih terjebak ego untuk cuma mau dipahami. Aku nyoba berteman sama kamu, dan ternyata, kita masih sama-sama egoisnya juga. Aku mungkin iya butuh kamu, dan sebaliknya, tapi disini kita adalah dua orang dewasa yang seharusnya bisa saling meredam ego kalau kita memutuskan punya hubungan."

"Kamu masih kaku, dan aku masih keras kepala. Mungkin kita cuma sedang butuh waktu buat saling tahu, apa mau kita kedepannya, Ka."

Ucapanku mendadak mengalir lancar. Membiarkan apa yang selama ini menyesaki hati dan pikiranku untuk bisa kunyatakan.

"Kita nggak mungkin bisa hidup bersama kalau sampai nanti kedepannya, kita masih seperti ini. Aku paham perdebatan dan beda pendapat itu baik buat kita, tapi kalau itu diterus-teruskan, kamu yakin, kamu mau hidup dengan perempuan yang hampir selalu emosi ketika menghadapi kamu?"

Arka menghembuskan nafasnya dengan keras. Aku tahu, ia sedang dikuasai emosi sekarang. Dan entah kenapa, perasaanku berkata justru inilah saat terbaik untuk menjelaskan semua isi pikiranku kepada laki-laki itu.
Agar ia tahu, perempuan seperti apa yang ia hadapi sekarang.
Dan agar aku sendiri juga tahu diri, bahwa berada dalam satu hubungan, tidak sesederhana menyelesaikan masalah dengan satu ciuman panjang.

"Sampai waktu yang kamu bilang itu, aku akan nunggu, Na."

Aku menggeleng.

"Hubungan kita bukan sebuah kasus hukum kamu atau bahkan proyek yang punya deadline, Ka. It's way more complicated than that."

Kali ini Arka justru kembali menghadapkan tubuhku kearahnya.

"Bukan hubungan ini yang rumit, Na. Kita yang membuatnya jadi terasa sulit."

Ucapan tegas Arka langsung membungkamku.

"Apapun yang kamu mau, aku bakal turuti. Karena aku paham betul apa yang aku mau, Na. Aku mau kamu. Dan itu sudah lebih dari sebuah penjelasan kenapa aku se-keras kepala ini menahan kamu."

Arka menutup pembicaraan kami malam ini dengan melanjutkan kembali kemudinya menuju ke apartemenku.

"Cukup kasih aku satu kesempatan untuk selalu ada buat kamu, Na. Urusan nanti hasilnya, kita lihat aja. Take care, Na. Aku pulang dulu."

Sekali lagi, Arka cuma mengantarkanku sampai didepan unitku. Lalu memelukku singkat, dan seperti biasa, mengecup puncak kepalaku, mengalirkan perasaan hangat yang memang hanya bisa kutemukan dari laki-laki itu.

Burnt Bridge (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang