Tujuh

5.2K 470 8
                                    

Sekitar pukul setengah delapan malam, Arka muncul. Kali ini penampilannya sangat jauh dari kesan bahwa ia ingin mengobrol diluar rumah.
Ia cuma memakai celana kargo hitam selutut, kaos putih polos dan jaket abu-abu yang hoodie-nya ditutupkan ke rambutnya.
Dua tangannya masing-masing membawa sebungkus bakmi, sushi pesananku, dan dua gelas jus jeruk kesukaannya.

"Malem-malem jus jeruk, aku udah bikin teh lemon itu."
Aku mengambil alih seluruh makanan kami dan mulai menyiapkan mangkuk dan piring untuk memindahkan masakan tadi dari bungkusnya.

"Aku pengen jus, Na.."

Ucapan bernada agak memelas dari Arka tak urung membuatku tertawa juga.

"Nggak papa kan kita nggak makan di luar?"
Kali ini Arka kembali bersuara setelah menghempaskan duduknya di sofa sudut favoritnya.
Sementara badannya seperti biasa mulai dibaringkan tanpa membuka hoodie di kepalanya.

"Kamu capek apa sakit?"
Tidak seperti biasanya, Arka memang tampak tidak begitu segar malam ini. Dan benar saja, dahinya bahkan terasa lebih hangat, seperti gejala demam.

"Tuh kan, badan kamu aja anget begini, masih ngeyel minum jus jeruk. Udah kamu minum teh aja, ya. Jusnya nggak usah diminum, daripada tenggorokan kamu sakit."

Arka sama sekali tidak terlihat akan membantah, tapi gelas jus-nya juga sama sekali tidak ada tanda-tanda akan disentuh.
Sebagai gantinya, tangannya justru terulur untuk mengambil termos kecil berisi teh lemon hangat yang sudah kusiapkan dari tadi.

"Aku nggak papa, cuma agak meriang aja."

Kali ini ia sudah menegakkan badannya kembali, dan meraih piring berisi bakmi goreng-nya.

"Akhir-akhir ini kasus klien-ku banyak yang makin ribet. Kamu ingat Pak Hardian kan? Dia pindah ke Surabaya minggu ini, hasilnya ya aku yang harus handle semua kasusnya dia.."

Tanpa kuminta, tiba-tiba Arka menyantap bakmi-nya sambil bercerita. Sementara aku memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik dulu kali ini, sebelum masuk kepada inti pertanyaan yang sedari tadi kusimpan.

"Makanya kenapa aku jadi jarang banget bisa hubungin kamu, karena waktu senggang pun, aku pasti sibuk."

Oh.
Semacam pembukaan sebelum menuju permintaan maaf rasanya. Mengingat akhir-akhir ini Arka memang tidak begitu mudah dihubungi.

"Iya, aku nggak masalah soal kamu sibuk. Tapi jangan jadinya lupa jaga kesehatan sendiri. Kamu jarang makan siang?"

Aku sedikit banyak hafal pada kebiasaan Arka mengabaikan makan siangnya. Dia memang kurang terbiasa makan di sela-sela jam kerja, baginya memang hanya ada dua jam istirahat. Yaitu sebelum mulai kerja, dan setelah pulang kerja. Tidak ada break dalam kamusnya, hal yang sebenarnya sama sekali tidak pernah kusetujui itu.

"Ya kamu paham sendiri, aku nggak begitu suka jam kerjaku terganggu."

"Tapi suka kalau kesehatanmu terganggu?"

Pertanyaanku langsung disambut helaan nafas panjang dari laki-laki di hadapanku itu.

"Aku mau sushi-nya dong. Suapin.."

Tanpa menjawab pertanyaanku, kali ini Arka justru mengarahkan sumpitnya ke salah satu sushi di piringku, membuatku akhirnya menuruti maunya dan menyuapi laki-laki itu.

"Besok pas kerja, ingetin aku makan siang, ya, Na?"

Seketika aku menoleh.
Memastikan bahwa yang baru saja mengatakan hal tadi ialah laki-laki yang sama, dengan beberapa menit lalu mengatakan bahwa ia tidak suka jam kerjanya terganggu.

"Ya biar aku nggak lupa makan siang lagi. Minima kalo ada yang ngingetin kan, aku nggak seenaknya lagi."

Seketika aku memegang keningnya sekali lagi. Membuat Arka menepis tanganku pelan.

"Kenapa? Aku udah nggak se-panas tadi kok.."

Aku menggeleng sambil tertawa kecil. Reaksi Arka entah kenapa terlihat menggelikan bagiku.

"Mau memastikan aja, yang bilang tadi jam kerjanya gak mau diganggu, sama yang minta diingetin makan siang tadi masih orang yang sama atau bukan."

"Dasar."

Lalu sekali lagi kami berdua kembali tertawa sembari menghabiskan makanan masing-masing, dan untuk sementara masalah kesehatan Arka dan pertanyaanku yang belum sempat kusampaikan, menjadi terabaikan.

----------

"Kamu tiduran dulu aja, aku mau cuci piring. TV-nya kamu nyalain sendiri, ya. Remote-nya di deket vas."

Sambil berujar, aku mulai membawa bekas makan kami berdua ke dapur. Sementara Arka kembali ke posisi-nya semula, berbaring sambil menonton TV.

"Aku numpang istirahat disini ya, Na."

Aku mengangguk sembari mengambil tempat di salah satu sofa lain yang tidak ditempati Arka.

Selama sepersekian menit sama sekali tidak ada obrolan dari kami berdua, Arka sibuk dengan tontonannya, sedangkan aku menghadap laptop yang sedari tadi memang berada di ruangan itu, membuka apapun folder tulisan yang pernah kutulis disana, kecuali file berisi satu kalimat yang berencana kujadikan sebagai novel keduaku.

"Kalau kamu mau nanyain sesuatu, tanya aja, Na. Aku tahu kamu daritadi penasaran kan.."

Aku terlonjak kaget mendengar ucapan pelan namun tegas dari Arka.
Dan isyaratnya dengan mematikan TV seketika membuatku paham, Arka ingin membicarakan sesuatu itu.

"Kamu--"

"Iya, aku paham maksudmu. Apa yang daritadi mau kamu tanyain ke aku?"

Aku memutuskan menutup laptop dan menghadapkan wajahku kepada Arka, yang ternyata juga sudah menegakkan badannya itu.

"Beberapa hari lalu kamu mampir ke coffee shop dibawah kantor penerbitku, ya?"

Dengan hati-hati aku mulai mengutarakan satu persatu isi pikiranku. Sedangkan Arka cuma menjawabnya dengan anggukan.

"Aku pengen banget minum espresso-nya. Makanya aku mampir, itupun aku sendirian dan sebentar."

Kali ini aku yang mengangguk paham.

"Rinald cerita sama aku tadi pagi, katanya kamu bilang ke dia kalo kamu lagi sibuk persiapin sesuatu. Aku boleh tahu itu apa?"

Ya Tuhan.
Kenapa untuk meloloskan kalimat sesederhana itu saja, jantungku bisa sebegininya nggak karuan?
Tidak, aku bahkan sama sekali tidak memikirkan opsi iseng seperti yang dikatakan Mbak Ode soal dia yang mungkin akan melamarku.
Tetapi kenapa rasanya tetap se-mendebarkan ini?

"Boleh lah. Aku juga mau cerita soal itu sama kamu."

Jantungku makin tidak karuan.
Nada suara Arka terdengar tetap tenang, sama sekali tidak terpengaruh dengan aku yang mulai ketakutan ini.

"Silakan.."

"Sekitar satu bulan lagi, aku harus pindah sementara ke Surabaya juga, Na."

Ya Tuhan.
Ternyata ini.

Entah aku harus lega ataukah justru sebaliknya mendengar berita semacam itu dari Arka. Tetapi satu hal yang kuingat malam itu, adalah Arka yang langsung meraih tanganku, dan menggenggamnya dalam-dalam, tanpa menjelaskan lebih jauh lagi.

Burnt Bridge (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang