Part 22

4.5K 412 7
                                    

"Mantanmu masih ngarep tuh.."
Reyhan kembali meledekku sesaat setelah kami bertiga memutuskan berpisah untuk pulang dari makan malam bersama itu.
Sengaja aku meminta Reyhan yang mengantarku pulang, karena rasanya aku masih canggung untuk bersikap se-biasa itu dengan Angga.

"Apaan deh.. Nggak mungkin juga, orang dia udah punya calon."

Reyhan langsung mencebikkan mulutnya.

"Halah calon. Calon mah calon aja kalo buat dia, yang diarepin juga cuma kamu, Na. Keliatan kok."

Aku cuma mendengus pelan menanggapi Reyhan yang mulai ngaco malam itu.
Memang sejak pertemuan kembali ku dengan Angga beberapa bulan lalu, rasanya kami menjadi tidak sengaja bertemu lagi.
Ya aku juga nggak mau se GR itu untuk menganggap Angga mengikutiku, tapi memang, agak aneh ketika melihat Angga menjadi seolah-olah selalu berada di sekitarku.

"Tapi beneran, Na, anggap aja aku ini sok tahu, tapi tolong dipahami juga, aku laki-laki lho. Nggak perlu nunggu seminggu kalo cuma buat tahu begituan.."

"Menurutmu, Re, apa iya Arka mikir sama kaya' kamu soal Angga?"

Tanpa sadar pertanyaanku justru langsung mengarah pada Arka.

Reyhan memilih mengangguk mantab untuk menjawabku. "Jelas, Na. Insting pengacara jangan dimain-mainin lho."

"Berarti Arka nggak percaya sama aku dong? Harusnya dia tahu kan, aku nggak mungkin macam-macam?"

Reyhan menyeringai kearahku. "Bukan kamunya, Na. Mantanmu itu lho yang nggak bisa dipercaya.."

-------------

Sesampainya di apartemen aku bergegas untuk ke kamar mandi, memutuskan untuk mandi sekaligus keramas demi menghilangkan pikiran-pikiran macam-macam yang muncul akibat kedatangan Angga dan kalimat Reyhan sepanjang perjalanan pulang tadi.

Aku berusaha mengingat-ingat jelas bagaimana detail putusku dengan Angga, dan memang, tidak ada juga masalah serius yang kami hadapi saat itu. Hanya saja, aku merasa tidak cocok dengan sikap dan sifat Angga yang terlalu santai.
Dan khas anak kuliahan sekali, kami memilih putus karena sama-sama sibuk mengurus kuliah.
Klise.
Dan memang tidak berkesan apapun.

Jadi rasanya aneh saja menurutku kalau sampai Angga se-susah move on itu dariku, mengingat ia juga termasuk hitungan berwajah ganteng, agak lucu aja kalau ia tidak bisa menemukan penggantiku yang lebih segalanya.

Tapi ucapan Reyhan tadi jelas mengangguku. Ia mengatakan seolah Angga masih mengharapkanku, dan bahkan mengatakan bahwa Angga tidak bisa dipercaya.
Tidak bisa dipercaya bahwa ia benar-benar sudah melupakanku maksudnya?

Dan Arka.
Kalau memang selama itu ia terganggu dengan ceritaku soal Angga, kenapa juga dia tidak pernah sekalipun mengatakannya dengan jelas?
Katanya pengacara, instingnya nggak bisa diremehkan, tapi giliran menghadapi masalahnya sendiri, ia justru bersikap menyebalkan dengan cuma menyindirku berkali-kali.

------------

Jam sebelas malam, aku sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda merasakan kantuk.

Di saat-saat seperti ini aku benar-benar ingin memarahi siapapun yang menciptakan kenangan.

Bukannya sedang meratapi nasib sebagai jomblo baru, melainkan biasanya di saat seperti ini, hampir selalu ada Arka yang lebih mirip dengan tong sampah curhatku selain Ibu dan Mbak Ode.
Ada memang beberapa sahabatku sejak SMA, kuliah bahkan teman sepermagangan seperti Reyhan, tapi sejak kenal Arka, rasanya tidak ada yang tidak kuceritakan pada laki-laki itu.

Aku memutuskan untuk mengecek sosial mediaku sendiri, membuka Instagramku yang seharian tadi rasanya belum sempat ku cek.

Baru membuka, jantungku sudah dibuat hampir berhenti hanya karena melihat postingan atas nama Arka di deretan paling atas.

Aku bahkan harus menahan senyumku sendiri begitu melihat foto close up laki-laki itu yang terlihat masih sama memesona-nya dengan sweater biru dongker, topi hitam, dan celana panjang khaki-nya.
Aku ingat sweater itu dulu sebenarnya akan kuberikan sebagai hadiah untuk Arka setelah ia berhasil menyelesaikan salah satu kasus hukum besar yang sempat membuatnya kesulitan.
Tetapi entah dengan alasan apa aku menunda membelinya, sampai beberapa hari kemudian, Arka kerumahku dengan memakai sweater yang sama dan dibelinya sendiri sepulang kerja.

"Harusnya kamu bilang dong, Na, kalau mau kasih aku hadiah."

Itu jawaban Arka saat aku memprotes kenapa ia membeli sweater itu lebih dulu.

"Ya namanya hadiah kejutan masa iya aku bilang-bilang dulu."

"Ya ngapain juga pake kejutan segala. Harusnya kamu bilang aja, kamu pilihin yang mana, tapi nggak usah kamu beliin. Bilang ke aku aja, Na."

"Lah trus? Yang bayar?"

"Ya aku, Na. Kamu nggak usah beliin aku barang mahal-mahal, ah. Aku nggak suka kamu kebiasaan gitu."

"Ya kamu juga beli sendiri gitu. Beliin aku sepatu kapan hari juga, itu kan mahal."

"Ya itu beda, Kanaya."

"Beda apa, sama-sama beli kan?"

"Ya beda. Aku hitungannya wajib beliin kamu, kamunya yang nggak usah. Disimpen aja, buat perlumu sendiri."

"Kaya' udah nikah aja kita."

"Ya makanya belajar."

Aku ingat saat itu tanggapanku justru terbahak, padahal wajah Arka bisa dibilang sangat serius saat itu.

Dan memang sejak saat itu, hampir tidak pernah Arka membolehkanku membelikannya apapun kecuali kado ulangtahun, beda dengan beberapa barang-barangku, yang justru hadiah darinya.

Bahkan sesederhana sandal rumah yang saat ini tergeletak di bawah kaki-ku pun juga pemberian Arka.
Karena saat itu aku memecahkan gelas yang berujung dengan serpihan kecilnya melukai telapak kakiku, dan besoknya, tanpa kuminta tiba-tiba Arka datang dengan membawa sandal karet biru itu.

Kurang ajar sekali ya, kenangan itu..

Burnt Bridge (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang