Kenyataan

2.7K 48 4
                                    


*

Jam 8 pagi. Matahari sudah terbit tinggi. Gue duduk dibalik kemudi gue terdiam dipinggir jalan setelah tadi pagi pagi buta gue kerumah bokap gue. Untungnya gak ada orang tua gue dirumah jadilah gue bebas masuk ke dalam mencari sesuatu yang gue cari

Menyesal? Iya! Gue mendapatkan apa yang gue cari. Tapi sesuatu hal membuat gue terdiam ditepi jalanan kosong seperti ini. Ini soal adik gue, ya benar. Gue berhasil mengambil kartu keluarga gue yang lama. Satu nama yang hilang disana

Octa Rosediana

Adik gue yang selama ini gue sayangi, bahkan gue cintai karena satu satunya keluarga gue yang nerima gue apa adanya. Hanya dia sumber ketawa dan senyum gue saat gue memilih berpisah dengan orang tua gue. Hanya dia yang menguatkan gue harus terus berjuang. Dan perjuangan gue saat itu hanya untuknya, agar dia bisa bersekolah tinggi.

Duk

Gue benturkan kepala gue ke stir mobil. Gue mengepalkan tangan gue. Kenapa bokap gue menyembunyikan ini. Lalu siapa orang tua Rose sebenarnya. Dari mana Rose berasal. Pikiran itu terus berputar dikepala gue.

Beberapa pelayan sana mengetahui kebenaran ini hanya sampai Rose bukan adik kandung gue. Selebihnya mereka tidak mengetahui apapun. Gue harus pulang sekarang, ya gue harus bertemu dengan Rose

Julia PoV

Kubuka mataku perlahan. Dimana aku, ku edarkan pandanganku ke sekeliling. Tunggu, ini rumah sakit. Apa yang terjadi denganku? Aku tidak bisa mengingat apapun selain saat aku menangis dan memegang pistol Arfi semalam. Hanya sampai situ ingatanku selebihnya aku kehilangan kesadaranku, mungkin.

Aku duduk bersandar pada kasur. Pikiranku melayang disaat Arfi dengan kejamnya menodongkan pistol tepat dikepala penjaganya. Ada rasa sesak di dadaku saat ku ingat itu. Inikah laki laki yang kucintai, inikah laki laki yang selalu memberiku kelembutan, ia memiliki sisi lain dari yang biasa kulihat. Bukan, dia bukan berubah, hanya saja aku yang baru tau ada sifat aslinya yang tidak ia tunjukan dihadapanku

Glek

Pintu rumah ruanganku terbuka, Savira masuk menggendong Elaine menghampiriku

"Sukurlah lu udah sadar. Ini anak lo susuin dulu kasihan dari kemarin gak nyusu"

Aku mengambil alih Elaine dari gendongan Savira lalu menyusuinya. Savira duduk disamping bansalku.

"Gimana keadaan lo?"

"Membaik, siapa yang bawa gue kesini?"

"Laki lo, siapa lagi emangnya"

Aku hanya terdiam memperhatikan Elaine yang sedang menyusu padaku. Aku berharap Elaine kelak tidak akan mewarisi sifat buruk papahnya. Tidak, aku yang akan mengajarkan padanya kelembutan dan pemaaf

"Arfi mana?" Tanyaku

"Tadi saat gue mau kesini sih dia baru pulang"

"Baru pulang?"

Savira menganggukkan kepalanya

"Dia dari mana lo tau?"

"Dia gak bilang, cuma semalem sempet pulang abis itu pergi lagi. Gue gak tau kemana"

Lagi lagi aku hanya terdiam.

"Ternyata Arfi yang kelihatannya cuek dan galak itu punya sisi kelemahan ya?" Ujar Savira, aku menoleh ke arahnya. Menatapnya seolah bertanya maksudnya?

"Iya, saat dia bawa lo balik kerumah tuh dia nangis. Gue gak tau pasti apa yang terjadi sama kalian. Yang gue tau lo pingsan"

Arfi nangis? Jika aja Savira tau apa yang dilakukan oleh Arfi aku tidak menjamin ia mau bertahan tinggal dirumahku. Seseorang dengan sebuah senjata dengan peluru yang siap dimuntahkan kemana pun si empunya mau tinggal bersama mereka. Alasan itu cukup kuat untuk mereka pergi dari rumahku.

OurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang