Memulai yang baru

3.2K 44 0
                                    


*

Aku berjalan didalam ruangan gelap dan sepi. Sebuah bangunan yang aku kunjungi katanya adalah ini tempat eksekusi, markas besar dan sebutan lainnya.

Brakk

Seisi ruangan terkejut akan kehadiranku. Diantaranya ada Dikdik dan Dhimas yang cukup familiar padaku. Aku menghampiri mereka

"Dimana Arfi?" Tanyaku. Mereka hanya diam tidak menjawab. Sebuah pistol tergeletak dimeja. Sekitar lebih dari 10 orang berbadan besar berada disini.

"Dik..." aku menatap Dikdik tajam

"Tuan, ada dilantai atas nyonya"

Aku langsung berjalan keatas mengecek setiap lantainya. Jujur saja aku baru pertama kalinya datang ke tempat ini. Anak buah Dikdik yang tentunya juga anak buah Arfi yang memberitahuku.

"Tangkap dia!! Bawa dia kesini!! Satu atau dua lubang dikepalanya cukup memberikannya pelajaran atas perbuatannya"

Suara menggema itu terdengar satu lantai diatasku. Aku mempercepat langkahku menuju tangga agar sampai di lantai selanjutnya. Sampai diatas aku menyusuri lorong mencari dimana Arfi berada.

Ruangan dengan pintunya yang dibiarkan terbuka, aku melihat Arfi sedang duduk dilantai dengan satu kakinya menopang kaki lain miliknya.

"Beraninya dia mencuri dikantor, dengan ini dia akan tau pernah berurusan dengan--"

"Arfi Juanto!!" Ucapku lantang membuat semua yang berada diruangan ini menoleh padaku tidak terkecuali Arfi. Ia menatapku terkejut

"Kamu..."

"Ya aku, kenapa? Terkejut aku bisa tau tempat ini?" Aku melangkah mendekatkan ke arah Arfi. Beberapa botol minuman berserakan dibawah, gelas yang pecah dan satu senjata seperti yang kulihat dibawah

"Jangan Julia, itu berbahaya" ujarnya saat aku meraih pistol yang berada di meja dekatku

"Kamu masih bermain dengan ini?" Tanyaku.

"Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, denger, aku hanya memberikan pelajaran bagi siapa yang telah merugikanku, percayalah"

"Dengan melubangi satu atau dua dikepalanya? Oh ya, aku percaya, sangat percaya itu, kalau begitu buat aku percaya ia masih hidup setelah ada satu atau dua lubang dikepalanya"

Arfi terkejut dengan ucapanku. Tak lama Dikdik dan satu orang lagi datang menghampiri Arfi melewati ku begitu saja

"Maaf tuan, saya pikir Nyonya orang terkecuali yang dilarang masuk kesini"

Arfi menatap bengis ke arah Dikdik. Keterlaluan! Setelah ia mengingkari janjia ia masih memperlihatkan amarahnya. Aku istrinya! Aku tidak boleh kesini?

"Aku istri kamu kan? Aku gak boleh kesini?" Tanyaku. Arfi hanya diam saja menatapku

"Jawab Arfi!!"

"Boleh.. boleh kok"

Aku tidak tau harus berbuat apa. Aku kecewa dengannya yang mengingkari janjinya padaku. Ia berjanji tidak mau melukai orang lagi

"Kenapa, kenapa kamu harus jadi seorang pembunuh Arfi?" Tanyaku melihatnya. Ku rasa air mataku akan menetes

"Aku gak bunuh dia, aku memberikannya pelajaran. Aku bersumpah aku tidak akan melukai seseorang jika mereka tidak mencari urusan denganku"

Bodoh! Ucapan terbodoh yang pernah kudengar dari Arfi

"Kamu membunuhnya Arfi.. itu yang kamu lakukan!"

Arfi menghampiriku. Ia mengusap air mataku.

"Udah ya jangan nangis, iya iya aku gak akan bunuh dia. Mau kamu gimana sekarang? Hmm"

OurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang