Ke-1

69 6 1
                                    

Seperti biasa saat di sekolah, aku bertemu dengan pejantan yang diidolakan para gadis seisi sekolah dimana ia adalah pemain volly kebanggan sekolah. Wajahnya yang keren, kulit yang putih bersih dan mulus nyaris tanpa bulu bulu, serta berpenampilan yang selalu fashionable.

Herannya, mereka semua mengidolakan idola mereka tanpa mengetahui seluk beluk dalam diri sang idola tersebut.

Mungkin aku juga merupakan salah satu gadis yang tidak mengidolakan pejantan itu sedikit pun melihat dari sisi dalamnya. Aku akui, dari tampang depan okelah.

"Biasa aja kali liatnya. Terpesona ya" menaikkan alis dan kerah baju.
"idih, najis" bergidik geli.

Jam pertama pelajaran dimulai dengan Biologi. Pelajaran dimana aku sama sekali nggak ngerti bahasa latinnya. Nggak ngerti istilah-istilahnya, tapi seneng saat praktek aja.

Kali ini bu Rike memberikan tugas praktek dimana akan dibagi kelompok beranggotakan masing-masing 4, dan sial. 4 J bertemu dalam satu kelompok dimana salah satunya adalah, Jackson.
"Shit" kulontarkan tepat di wajahnya.

Dengan susah kami mencari keberadaan kodok.
"Tuh"
Dengan santainya dia (Jackson) jongkok sambil bermain ponsel miliknya. Tangan yang saat itu terbungkus plastik dimana plastiknya bekas lendir kodok,
"Hallo, pria tampan" godaku, mengoleskan lendiran kodok itu.
"Ih apaan nih, lengket lengket"
"Lendir cintah" suara manjah.
"Kurang ajar"

Mulailah kami membedah isi perut sang kodok. Dengan pasrah kodok itu membiarkan perutnya di bedah. Maap ye dok ye, demi nilai.

Jannat yang saat itu memenuhi tugas sebagai penulis laporan penelitian,
"Dia nggak usah" bisikku.
(Jannat hanya mengangguk)
Rupanya dia belum sadar bahwa namanya tidak tercantum dalam kertas laporan penelitian sampai,
"Jackson tugasmu mana"
(Jackson menatap lebar Jannat)
"Tapi bu, katanya kalo nggak kerja nggak usah diikutkan kelompok" kataku.
Dia memindahkan arah pandangan tajamnya kepadaku.

Pulang sekolah, aku mendengar suara gertakan dari luar pagar rumah. Tidak jelas bagaimana suara itu berbunyi. Hanya samar samar.
"Mah" melihat ayah yang hanya duduk diam di lantai teras belakang, raut wajah yang muram bertolak belakang dengan mama yang berdiri tegap disertai raut wajah geram.
"Kenapa mah"
"Tanya ayahmu" mama langsung bergegas pergi meninggalkan kami di rumah.

Aku tidak mengetahui alur cerita yang pasti. Namun sepertinya aku paham dengan apa yang terjadi saat ini.

Kutelfon mama berulang kali namun hasilnya nihil. Tak ada jawaban yang membuatku tenang. Pikiran melayang kemana-mana. Bagaimana jika mama ditemukan tergeletak dijalanan dengan tubuhnya yang penuh luka. Bagaimana jika orang berseragam memberi kabar mengejutkan lewat pintu rumah.

Jiwaku menangisi mama yang pergi entah kemana arahnya. Sampai hari menjelang petang, mama belum menampakkan wujudnya. Sampai aku sadar, hanya menangis saja tidak dapat membantu mama pulang ke rumah.

Menekan nomor budhe yul san menelfonnya guna menanyakan keberadaan mama. Namun mama tidak sedang bersama budhe Yul.

"Ngga, bangun"
Tubuhku goyah.
"Kok sembab"
"Nggak papa"
"Beneran?"
(mengangguk)
Aku yang tak menghiraukan Hana ke rumah langsung turun mencari mama.

"mama" menghampirinya masuk kamar.
"Mama kemana aja"
"ke rumah temen. Mama butuh nenangin pikiran"
"ada apa ma"
"Nggak papa" ngusap air mata.
"Sana, ada temanmu kan"

"Gimana Han, ada apa"
"Temenin nonton yuk"
"Sekarang?"
"Jam 5"
(liat jam, 4.39)
"Aku mandi dulu" beranjak dari kasur

Kios es krim dekat gereja ini jadi sasaran kami menikmati malam yang kelam. Gelakan tawa anak kecil ikut menghiasi suasana saat itu. Di temani es krim rasa green tea duduk di kursi yang sudah disediakan di sekitar trotoar.

Namun,
Keadaan berubah drastis.
Suara gelakan tawa anak kecil berubah menjadi dentuman keras yang menyebabkan gereja runtuh. Bangunan gereja yah megah itu menjadi rata dengan tanah. Tubuhku terlempar ke jalanan. Telinga kanan ku terkena puing bangunan yang terbang ke arahku. Sakit sangat terasa membayangi telingaku. Aku tidak dapat mendengar apa apa. Hanya suara bising yang terdengar.

Dentuman itu menyebabkan kami berdua terpisah. Dimana Hanna, aku tidak dapat melihatnya karena debu debu yang beterbangan.
"awww" sekali dua kali aku terinjak orang yang berlari menyelamatkan diri.
"Hannaaaaaa" teriak sekencang kencangnya berharap Hanna mendengarku.

Tak tinggal diam. Aku berusaha berdiri dan menyusuri jalanan penuh debu dan tangisan orang orang sekitar sambil memegangi telinga kanan yang masih sama mendengar bising.
"Hannaaaaaa"
Terlihat di jalan tikungan, anak kecil menangis histeris teriak memanggil ibunya yang entah kemana. Tak ada yang disampingnya.
"Adek, mama kamu mana"
(nunjuk)
Mamanya tergeletak bersimbah darah. Sementara aku membawanya pergi menghindar dari lokasi kejadian.

Belum ada tim penyelamat yang datang ke lokasi kejadian.

Anak kecil yang masih menangis histeris di pangkuanku. Aku coba menenangkannya namun tak berhasil.

"wiuwiuwiu" (suara ambulance)
"Bapak, tolong"
Beruntung, petugas medis menangani kami dengan cepat. Walaupun sang anak kecil masih belum bertemu dengan ibunya. Dan belum tau ibunya masih bernyawa atau sebaliknya. Begitu juga denganku. Yang belum nampak keberadaan Hanna dimana.

(di rumah sakit)
"Udah mendingan?" tanya mama.
"Masih cenut cenut"
"Jingga" masuk ke kamar rawat inap
"Hann, nggak papa kan"
"Tadi aku cari kamu nggak ada" memelukku.

Tak bisa dipungkiri jika aku akan mengalami kejadian tak terduga hari ini. Masih tidak dapat dipercaya jika ada hari ini.


Putra Kegelapan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang