Part 10

4.5K 198 15
                                    

Orang desa sering menyebut bulan suro sebagai bulan keramat. Mereka senang mengaitkan bulan ini dengan hal-hal mistis. Dikalangan masyarakat jawa, bulan suro bahkan dinobatkan menjadi bulan penuh kesialan dan malapetaka.

Pagi pertama, di bulan suro, dua orang anak tengah bermain di belakang rumah. Ibunya memasak nasi di dapur, ia duduk meniup kayu bakar agar tungkunya tetap menyala. Dapur atau pawon mereka berada di dalam rumah. Sedangkan anak-anaknya bermain di bagian luar. Hanya dinding yang terbuat dari anyaman bambu menjadi pembatas antara dapur dan halaman belakang.

Mereka asyik bermain. Sesekali terdengar suara dua anak itu berteriak berbarengan, tidak lama kemudian salah satunya sudah menangis. Ibunya berjalan keluar dengan muka celemotan kena arang, ia langsung bertindak dan melerai dua anaknya, buru-buru menyudahi perkelahian mereka. Kakak adik itu usianya 5 dan 3 tahun. Yang paling besar lelaki dan yang paling kecil perempuan.

Wanita itu memarahi anak sulungnya yang tidak mau mengalah pada adik semata wayangnya. Sementara itu, dari dalam rumah, suaminya keluar menenteng kail dan pakan untuk memancing ikan.

"Aku akan pergi ke sungai. Kemarin aku lihat si Dasim dapat ikan wader. Kalau dapat, lumayan buat lauk." Ujarnya.

Istrinya mengangguk. Kedua anaknya pun menyambut dengan riang. Barangkali mereka sudah lupa semenit tadi baru saja bertengkar. Kini keduanya sibuk memperhatikan barang bawaan bapaknya, yang paling besar memainkan kail, si kecil berceloteh ria, penasaran pada benda yang dipegang kakaknya. Terdengar lucu karena bicaranya belum fasih.
Setelah kedua bocah itu puas bertanya, bapaknya pun pamit. Keduanya memperhatikan lama sekali, sampai punggung kekar milik bapaknya lesap di tikungan ujung jalan yang mengarah ke sungai. Setelah itu, terdengar ibunya menyeru.

"Ayo kita masuk."

Wanita itu masuk lebih dulu, ia tergesa mengambil kain yang sudah lusuh, dipotong jadi dua bagian. Kain itu digunakannya sebagai cempal untuk mengangkat panci atau wajan dari api. Nasi sudah tanak, ia pun bergegas mengangkatnya. Diaduknya pelan, asap mengepul dari bulir beras putih yang matang. Sigap ia mengambil centong lalu memindahkannya ke dalam bakul. Uap hangat kembali menabun.
Ia lantas memanaskan minyak dan menumis kol. Biarlah, sekarang anak-anak makan dengan sayur. Sore nanti, suaminya pulang bawa ikan. Pikirnya.

Sejak tadi ia asik sendiri, tanpa disadari dua anaknya sudah tidak terdengar suaranya lagi. Ia panggil-panggil tidak menyahut sama sekali. Wanita itu melangkahkan kakinya keluar, tidak ada siapa-siapa. Sebersit perasaan tak enak menghinggapi hatinya, ini bukan yang pertama. Kedua anaknya memang sering keluyuran, ke rumah tetangga atau pergi ke sawah bersama teman-temannya.
Entah kenapa dadanya jadi bergemuruh, darah yang mengalir ke jantungnya seolah dipompa lebih cepat, lalu bergolak, menimbulkan perasaan tak nyaman, padahal ia sendiri tidak sedang memendam gejolak apapun di dalam batinnya.
Ia pernah merasa sesak karena menahan tangis sewaktu kesal pada suaminya, atau marah ketika dirundung masalah. Namun debar yang ia rasakan ini lain.

Tak pikir lama, wanita itu berjalan kaki, ia menelisik tiap rumah yang biasa disambangi anak-anaknya ketika bermain, bertanya pada setiap orang yang dijumpai. Akan tetapi, tidak satupun dari anaknya ditemui.
Ia teringat, masakan dirumah sudah matang, biasanya ia segera menyuapi anaknya makan. Pikirannya bercabang, ia khawatir anaknya belum makan dan lebih gamang lagi karena mereka tidak juga ditemukan.

Sedang dirundung gerun, pada waktu yang sama, seseorang dari arah sungai berlarian. Ia memanggil-manggil nama wanita itu.

"Marni, marni... anakmu !" Wanita paruh baya dengan mengenakan sehelai kain penutup badan dan rambut basah kuyup menghampirinya.

"Anakmu terpeleset di sungai. Aku tidak bisa berenang. Tolong cepat !" Wanita basah kuyup itu berteriak.

Marni dan para tetangga berhamburan, semua berlari menuju sungai.
Seorang lelaki berlari paling depan, ia masih kerabat Marni, diikuti Marni dan beberapa tetangganya.
Marni terseok, kain penutup bagian bawahnya tersingkap selutut. Jalanan ke sungai agak terjal, sedikit menukik karena tanah yang terus terkikis erosi.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang