Part 25

3.3K 201 20
                                    

Ahmad sibuk di buritan sejak pagi. Ia memangkas rerumputan dan membakar sampah. Halaman belakang rumahnya jadi bersih.
Ia meletakkan parang di tangannya pada sebuah karung besar berisi rumput. Rumput-rumput itu untuk pakan kambing kepunyaan bapak mertuanya. Ahmad duduk bersandar pada batang pohon mangga yang lumayan lebat daunnya. Pohon itu ia tanam sendiri. Ia memandangi hasil kerjanya sejenak. Puas juga ia menatap.

Sudah lima hari Ahmad dan Sri pulang ke rumah. Dan lima hari juga mereka meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Artinya sepuluh hari sudah Raden Kerta Kesuma sakit.
Iya, lelaki soleh itu masih terus memikirkan nasib sang Raden. Saban hari, ia melakukannya, ia tak pernah lupa pada keluarga ningrat itu.
Wajahnya yang mengkilap disapu sepotong handuk yang tersampir di bahunya. Ia mengelap tetesan peluh di wajah sampai kering. Diteguknya gelas berisi air putih yang disediakan Sri sejak pagi, sebelum pamit pergi ke  pasar bersama Retno, ia sudah mempersiapkan segala keperluan suaminya. Sarapan dan minuman. Baru hari ini ia lihat istrinya bersemangat menyambut pagi hari. Sejak pulang ke rumah dan perutnya terasa sakit, ia kerap malas bangun. Terlebih di pagi hari. Ia hanya uring-uringan di atas kasur dan mondar-mandir ke sumur untuk menuntaskan mual di perutnya.
Tetapi semenjak kemarin, Ahmad sendiri yang mengantarnya ke Puskesmas di seberang kali sana. Mereka memilih menyeberang sungai agar sampai lebih cepat. Sejak pulang dari puskesmas itu lah, Sri jadi berubah. Senyuman terus mengembang di bibirnya. Hatinya berbunga, semerbak dan merekah  bersemu merah. Matanya memancarkan kebahagiaan tak terkira.

Dokter di puskesmas itu memberitahukan kalau Sri akan segera punya momongan. Usia kehamilannya sudah memasuki tiga minggu.
Pasangan yang sudah menikah 8 tahun dan telah menanti lama, kini tengah mereguk manisnya kesabaran.

Sri semangat sekali bangun pagi. Meski ia harus merasa mual dan muntah. Ia bersemangat dan bertekad akan membuatkan makanan yang sehat untuk dirinya dan juga jabang bayi. Ia membeli aneka buah dan sayur. Saran dari dokter puskesmas itu ia dengar bak petuah raja-raja. Tidak jauh berbeda dengan Sri, yang bersemangat dan penuh suka cita.
Ahmad pun gembira, ia tak henti mengucap syukur begitu keluar dari puskesmas. Perubahan sikapnya setelah mengetahui kehamilan istrinya, ia jadi lebih hati-hati dari sebelumnya. Ia selalu menyuruh Sri istirahat dan tidur saja. Seolah tak ingin istri dan calon anaknya kenapa-kenapa.

Di bawah riuhnya dedaunan yang tertiup angin, Ahmad mengobati lelahnya. Ia teguk lagi segelas air dan mengambil sepotong singkong rebus. Matanya terus menatap mengitari seluruh kebun. Ia menyisir sudutnya, memuaskan keinginannya untuk melihat hasil kerjanya. Ia senang halaman rumahnya terang dan rapi sekarang. Di halaman itu memang tidak banyak pepohonan yang di tanam. Hanya ada sebatang pohon mangga yang kini dijadikan sandaran olehnya. Sisanya semak belukar dan rerumputan. Pernah Ahmad menanam lombok, tomat dan kemangi. Tetapi, tangannya tidak lihai dalam bercocok tanam. Ia mengamati lagi, ada seonggok rumput liar yang belum tersentuh olehnya. Ada di dekat batang-batang pohon pisang. Segerombol pohon pisang tumbuh di bagian paling ujung, di luar pekarangannya. Sebuah patok kayu sebagai penanda batas tanah bercokol di sana. Pohon-pohon pisang itu berdiri di atas tanah milik orang. Tetapi, rumput liar dan belukar itu mengotori pemandangan dan memang tumbuh subur di atas lahan miliknya. Ia pun bergegas untuk merampungkan pekerjaannya. Ia ingin sebelum Sri pulang, rumah sudah terang benderang. Tidak seperti kemarin-kemarin, sawang-sawang bersarang di langit-langit
rumah. Kotoran tikus berserakan, perabotan rumah pun berdebu. Berkat tangannya yang ringan dan cekatan, ia berhasil membuat isi rumah tampak cemerlang. Hari ini, tinggal bagian kebun belakang yang belum terjamah. Dan ia akan segera menuntaskannya.

Ahmad membawa sebilah parang dan karung berisi rumput yang belum penuh benar. Ia ayunkan sabetan parang dengan mantap, seketika bunyi tebasannya menciptakan irama yang menyatu dengan alam. Sesekali terdengar suara besi pipih itu menghantam batu kerikil. Ramailah sudah suasana di halaman belakang rumahnya sekarang. Ia berkolaborasi dengan parang, rerumputan dan kerikil tanah untuk menciptakan keramaian.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang