Part 18

3.7K 188 3
                                    

Kejadian di dapur tadi sore, terus mengganggu pikiran Ahmad.
Selain mengerikan, peristiwa itu tak ubahnya seperti sebuah firasat. Tak ayal, Ahmad jadi memikirkan nasib bapak mertuanya.

"Sri... besok kan hari Ahad, rencananya mas ingin pergi mengunjungi bapak, kau tidak keberatankan mas tinggal di sini sendiri ?" Ahmad memulai percakapan saat ia menghabiskan sarapannya. Sampai ia selesai meneguk segelas air, istrinya baru mulai menjawab.

"Kenapa aku tidak boleh ikut menengok bapak di penjara mas ?"

"Bukan tidak boleh... Aku khawatir dengan keluarga ini. Jika kita berdua pergi, siapa yang membantu menjaga dan merawat mereka ?"

Sri tidak menjawab. Jangkar kerinduan di matanya ia lemparkan lurus ke depan, tapi tak tahu kemana, ia membiarkan pandangannya melanglang buana mengikuti alam pikirannya. Mungkin saat ini ia sedang melihat bayangan bapaknya yang tua, meringkuk kedinginan, mendekam dalam penjara. Setiap nama bapaknya disebut, hatinya terkoyak. Rupanya jangkar yang ia lemparkan melukai dirinya sendiri.

"Tidak apa-apa kan, besok mas tinggal ?" Tanya Ahmad sekali lagi, sekarang diiringi sebuah senyuman.

Sri mengangguk. Ia pernah ditinggal berhari-hari ketika Ahmad harus mendampingi murid-muridnya mengikuti lomba murrotal di tingkat provinsi. Besok, Ahmad hanya akan pergi paling lama satu hari. Iya. Dia hanya rindu. Ia rindu bapaknya yang bebas. Rindunya tidak pernah sembuh. Meski ia dapat menemui orang tuanya, rindu itu terus akan melukai hatinya. Sebab kerinduan itu terhalang sebuah jeruji besi, sebaris tembok yang menjulang tinggi, dan sebuah kenyataan yang pahit sekali.

Sri menyeka air matanya.
Lalu menengok ke arah suaminya, ia dapati wajah itu tak kehilangan keteduhannya, meski sedang dalam tekanan yang kuat, digelayuti setumpuk beban yang semakin menghimpit.
Sri masih bisa menemukan ketenangan di sana.
Setidaknya ia percaya, bahwa ia tidak sedang berlayar sendirian, di tengah amukan badai.

***

Keesokan harinya, Ahmad bangun pagi-pagi sekali. Sebelum adzan berkumandang, ia sudah berada di kamar utama. Sesuai permintaan Raden Kerta Kesuma, Ahmad pun mengajarkan tata cara sholat lengkap dengan bacaan dan hafalan do'a. Kegiatan itu rutin ia lakukan, setiap pagi. Setidaknya telah dua kali Ahmad mengajari raden Kerta kesuma sholat, semuanya dilakukan pada waktu subuh.

Raden terbiasa bangun sendiri pada jam-jam menjelang pagi. Kemudian istrinya akan ikut terjaga dan memapahnya menuju kamar mandi utama. Setelah seorang emban yang juga turut berjaga di sekitar kamar utama diperintahkan membangunkan Ahmad di kamar belakang, kegiatan itu baru dimulai. Pertama, Raden akan dipandu langsung oleh Ahmad untuk bersuci dan mengambil wudhu. Kedua ia akan diajari bacaan sholat.
Sementara Ajeng Kamaratih belajar sholat bersama dengan Sri. Mereka sholat di kamar utama menjadi makmum di belakang Ahmad.

Selain memang jumlah roka'atnya yang terbilang singkat, subuh dipilih karena menjelang terbitnya matahari adalah satu dari dua waktu yang disebutkan dalam sebuah hadist, dimana dua tanduk setan muncul. Dan, kemunculan tanduk setan itu menandakan kekuatan mereka sedang dalam puncaknya.

Pada dua waktu tersebut, Ahmad selalu berusaha membentengi diri dan mengajak seluruh penghuni rumah ikut serta, berupaya memohon perlindungan Allah agar selamat dari serangan dua tanduk setan.

Mereka sudah selesai melakukan ibadah.
Ahmad bergegas merapikan sajadah dan menggulung tikar.

Selesai sholat, Ahmad memberanikan diri mengutarakan maksud hatinya. Ia meminta ijin pada Raden Kerta Kesuma untuk pergi menengok bapak mertuanya di penjara.

"Ah... iya, tentu kau boleh menengoknya. Bagaimanapun dia adalah bapak dari istrimu." Raden Kerta Kesuma memberi restu.
Meski dalam hatinya ia masih menyimpan pedih, atas kehilangan Nyai Darmo.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang