"Sri, habiskan makananmu, sudah berhari-hari kau sakit. Kalau tidak dipaksa makan, kapan kau sembuh ?" Ahmad telah beres mengemasi piringnya yang bersih mengkilap. Tiada sebutir nasi pun tersisa.
Terhitung sudah tiga hari Sri begini. Tiap makanan yang dihidangkan oleh suaminya, hanya diaduk-aduk dan dicicipi. Padahal ia paham, suaminya sering berkata, "Rejeki itu tidak boleh disia-siakan. Setiap makanan yang tersaji, harus kau makan dan habiskan. Jangan ada yang tersisa. Mubazir. Nanti Allah marah." Kalimat itu masih terperam dalam tempurungnya hingga ia hafal di luar kepala. Sebab, hampir tiga kali sehari Ahmad menyampaikannya. Persis seperti resep obat. Pada waktu sarapan, tengah hari dan lepas isya'.
Tiga waktu itu merupakan waktu di mana mereka duduk di bangku kayu dekat meja makan yang terletak di ruang tengah. Di meja itu biasanya bertumpuk dua buah piring di sisinya, dengan sebakul nasi di tengah meja lengkap dengan lauk alakadarnya. Kadang Ahmad menyajikan sayur asem kesukaan istrinya, atau sekadar telur dadar seperti barusan. Ia memang tidak mahir memasak. Meski ia sangat ingin menyajikan megono. Makanan kegemaran istrinya selain sayur asem tentunya. Ia tidak bisa.Sri memang pernah meminta makan megono, tapi Ahmad tidak bisa memasaknya. Ia ingin meminta tolong Retno tapi adik iparnya pasti tengah sibuk mengurusi anaknya yang belum sembuh benar.
Orang sakit biasanya malas makan, tapi Sri, sebenarnya ia sangat ingin makan. Makanannya pun sangat istimewa. Belum pernah Ahmad mendapati Sri seperti ini. Ia sampai uring-uringan dan malas keluar kamar hanya gara-gara makanan.
Suara ketukan pintu di ruang tamu sampai ke ruang tengah. Ahmad masih membereskan piring kotornya. Sri memutuskan berjalan ke depan.
Sri hampir berjingkat kegirangan mendapati seorang tengah berdiri di ambang pintu yang baru saja ia buka. Adik iparnya berdiri membawa sepiring megono.
"Mbakyu, ini aku masak megono. Rasanya mungkin tidak seenak buatanmu, tapi insyaAllah bisa mengobati penyakit ngidammu itu." Retno tersenyum penuh makna.
"Penyakit apa, ini kan anugerah dari Allah... kamu ini." Sugeng ternyata ikut bertamu. Ia menggendong putrinya yang wajahnya lebih segar sekarang. Anaknya itu sudah sembuh total.
"Kalian ini, repot-repot. Maafkan mbak ya, jadi menyusahkan." Sri tersipu dan terharu.
Bahagia segera menghiasi wajah-wajah itu. Wajah yang sinarnya sempat redup dan terenggut, kini hangat dan bersemu.
Ahmad yang baru saja selesai mencuci piring ikut bergabung. Hal pertama yang ia lakukan ketika berbaur adalah melirik ke arah piring yang berada di tangan Sri. Lalu ia menoleh ke arah Sugeng. Ia pun mendapati sebuah senyuman yang terus mengembang. Ahmad bingung, kemarin, ia memang sempat bilang pada adik iparnya perihal megono. Tapi, itu hanya sebatas cerita ringan yang ingin ia bagi saja. Namun Sugeng menanggapinya lebih serius. Ia memberitahu Retno dan hari ini, seperti yang ia lihat. Sepiring megono telah siap disantap.
Ketika para wanita itu menerobos masuk ke ruang tengah, diiringi derai tawa, ia semakin kebingungan.
"Sri seperti tidak pernah makan megono saja, kenapa dia terlihat sangat senang ?" Hatinya bertanya-tanya.
Sebuah tepukan di pundak mengagetkannya.
"Jangan heran kang, dulu Retno juga begitu." Sugeng masih mengukir senyum.
Jidat Ahmad berkerut menanggapi celotehan adik iparnya. Ia memang tidak paham, sejak tadi kebingungan.
"Jika sakitnya tidak kunjung membaik, aku akan mengantarnya ke puskesmas. Aku sangat khawatir. Lagipula, megono itu rasanya pedas. Apa tidak membahayakan bagi perutnya yang sedang sakit ?" Ahmad semakin mengerutkan dahi, kini wajahnya tampak sangat lugu di hadapan Sugeng.
"Jadi, kakang masih belum paham juga ya ?" Sugeng semakin geli dibuatnya. Ia menahan tawa, membuat senyumnya lebih berkembang dan gigi-giginya terlihat.
"Mbakyu itu bukan sakit, tetapi perutnya mual. Ia ingin muntah kakang..." Sambung Sugeng.
"Iya, itu sudah sangat menjelaskan kalau dia sedang sakit kan ? Buktinya perutnya kesakitan dan mual-mual ?" Tukas Ahmad.
"Dulu, Retno pun mual dan ingin makan makanan tertentu. Persis seperti mbakyu."
"Benarkah, lantas, Retno sembuh dengan makan obat apa ?" Lagi-lagi pertanyaan Ahmad menggelitik hati dan mengundang tawa.
"Retno tidak makan obat apa-apa, wong dia tidak sakit, tetapi hamil kang." Sugeng kembali menepuk pundak Ahmad, sembari tersenyum lebar.
***
Hai hai... pembaca setia ASTRAL, part ini sengaja dibuat singkat. Sebab bab ini dibuat khusus agar suasana tegang sedikit mencair. Karena apa, dari bab pertama kalian pasti sudah disuguhi adegan-adegan menegangkan dan mengaduk-aduk emosi kan ?
Nah... sekarang waktunya buat refresh otak biar releks. Heheh
Sebab... nanti di part selanjutnya, adegan menegangkan yang meremas rasa penasaran, akan muncul kembali. Jadi siap-siap !
Dan, terimakasih sudah membaca😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)
HorrorSebuah keluarga keturunan darah biru mulai mengalami masa-masa sulit. Ialah keluarga Raden Kerta Kesuma dan Ajeng Kamaratih. Kehidupannya yang bahagia, perlahan berubah menjadi duka dan nestapa. Orang-orang di sekelilingnya terkena bala yang tak jar...