Part 22

3.7K 194 13
                                    

Fajar di langit timur desa sudah angkat kaki sejak tadi. Sarapan dan teh manis hangat biasanya telah habis dimakan. Kebiasaan masyarakat kampung sini memang begitu. Rutinitas makan nasi di pagi hari menjadi wajib apalagi teh manis hangat. Tiap-tiap rumah pasti menyajikan. Tapi tidak untuk hari ini. Wanita-wanita yang biasanya cekatan, kini mendadak jadi berat tangan. Mereka lebih memilih mendekap anak-anaknya, menungguinya sampai bangun. Dan bergumul di atas kasur.

Kemarin_sepagi ini, orang-orang dibuat gempar oleh peristiwa memilukan. Raden Ajeng Kartika ditemukan mengambang di sumur timba yang berada di dalam rumahnya sendiri.
Mungkin kejadian itu, mempengaruhi suasana desa. Terhitung sudah tiga anak meninggal tidak wajar dalam kurun waktu sebulan.

Tidak mau kalah dari para wanita, bapak-bapak pun memilih tinggal lebih lama di rumah dan berjanji akan pulang sebelum senja.

Kepergian Raden Ajeng Kartika menciptakan sebuah misteri baru, setelah kasus kematian dokter Syarifudin. Belum ada keterangan dari pihak kepolisian, apakah Den Ayu Kartika meninggal akibat perbuatan seseorang, atau murni kelalaian yang mengakibatkan kematian. Proses penyidikian sendiri memerlukan waktu.
Mau tidak mau, jenazah Kartika harus dibawa oleh yang berwajib guna mempermudah dalam mencari tahu kebenaran. Meski berat hati, ibunya harus membuka tangan, agar masalah cepat terselesaikan.

Duka di rumah itu kembali menghampar. Di setiap dinding, di kamar-kamar yang lega, kesedihan membentang. Masuk ke dalam sana, hati pun jadi resah tak terkira. Dibayangi rupa-rupa kejadian menakutkan, kita seolah sedang diancam. Semua orang tahu, kediaman keluarga itu mengalami rentetan peristiwa kematian tragis. Dan mirisnya, sang pemilik rumah pun kini jatuh sakit.

Kutukan apa pun, tidak seharusnya merasuki badan rumah dan menghancurkan tiang-tiang penyangga keharmonisannya. Orang-orang yang tahu perangai Raden Kerta Kesuma menyayangkan semua petaka ini. Sekaligus menanyakannya berulang-ulang dalam hati, "Dosa apa yang sudah diperbuat penghuni rumah ini?".

Meski mereka bersusah payah menerka, tetap saja tidak menemukan cerca. Dirunut dari atas, turun temurun tak pernah sekalipun orang mengingat kesalahan yang terlampau besar. Malahan, keluarga ningrat itu kerap hadir di tengah masyarakat untuk membantu kesusahaan warga. Sepanjang ingatan sesepuh kampung, sebidang tanah di dekat sawah itu, kakeknya Raden Kerta Kesuma yang menyerahkan kepada warga untuk dikelola menjadi ladang. Hasil panen yang didapat, tak pernah sedikitpun keluarga itu meminta jatah. Ibunda Raden Kerta Kesuma, pun selalu memberi dalam setiap kesempatan. Setiap jum'at, pintu rumah keluarga itu terbuka lebar. Ada makanan dan lauk-pauk yang disediakan percuma untuk siapa saja yang membutuhkan. Darah bangsawan nan dermawan mengalir di dalam tubuhnya. Raden juga sering menyambangi rumah warga dan tak segan bercengkrama. Ia teramat santun dan peduli. Itulah mengapa, orang tidak heran melihat ia bersahabat dengan Sigit. Yang jelas-jelas dari kalangan masyarakat biasa.

Bukan tidak mungkin keluarga ningrat itu memiliki dosa, mengingat mereka juga manusia biasa. Tetapi, di kampung ini, mereka tidak pernah berselisih paham dengan siapa pun. Pernah suatu hari bapaknya Raden Kerta Kesuma, kakeknya Rindayu itu marah besar. Semua pekerja di rumahnya kena sembur amarahnya. Rewang dan emban bergantian disalahkan. Iya. Waktu itu Raden jatuh dari pohon asem. Entah siapa yang memulai, pulang-pulang mulut anak emasnya berdarah-darah. Kerta Kesuma kecil pulang bersama dengan Sigit. Awalnya orang-orang mengira Sigit akan kena marah. Tapi justru ia lah yang menolong dan membela Raden Kerta Kesuma. Sejak saat itu, anaknya tak pernah diijinkan keluar rumah jika tidak dengan Sigit. Sigit dan Kerta Kesuma bagaikan sepasang merpati. Mereka setia satu dan lainnya. Sigit memang terkenal pemberani, ia sudah berulangkali melawan marabahaya demi sahabatnya. Maklum, mereka tumbuh dalam lingkungan desa yang masih hijau. Sebagian masih berupa hutan. Keluar masuk hutan bukan hal yang asing bagi anak kampung itu. Banyak yang mengatakan Sigit sering bermain di tepian sungai yang paling jauh dari desa. Letaknya di ujung sana. Sungai itu menyerupai lembah yang tampak tak terjamah.
Saking lebatnya hutan pada saat itu, rerimbunan pepohonan melandai hingga ke bibir sungai.
Dari sanalah Sigit mulai mengenal dunia lain dengan berbagai makhluk astral yang menjadi penghuninya.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang