Part 16

3.8K 180 2
                                    

Dua hari telah berlalu semenjak Ahmad mengajukan surat ijin pada pak Mahfud. Pagi ini, rencananya ia akan mulai berangkat mengajar. Meski begitu, Ajeng Kamaratih dan suaminya meminta pada Ahmad dan istrinya untuk tetap tinggal. Walau sang Raden berhasil membujuknya, tetapi ia tidak dapat mencegah Ahmad untuk kembali beraktifitas seperti biasa. Raden Kerta Kesuma mungkin tidak begitu memahami hasrat seorang Ahmad pada buku-buku agama, pada kitab-kitab bertuliskan bahasa arab, dan lebih-lebih pada anak-anak didiknya. Namun, ia dapat memaklumi. Bagaimanapun, Ahmad memiliki tanggung jawab atas sekolah itu, yang menjadi sumber matapencahariannya.

"Aku sudah membaik, kau tidak perlu khawatir." Begitu ucap Raden Kerta Kesuma pada Ahmad saat dirinya ditemui di dalam kamar utama dengan tatapan tulus seorang teman.

Raden Kerta Kesuma menyimpulkan sendiri, kalau Ahmad adalah temannya. Sebenarnya ia ingin menganggapnya lebih, seperti Sigit misalnya, yang sudah ia anggap sebagai sahabat karibnya. Tapi, Raden masih bingung dan tentu saja canggung.

Ahmad pamit sebelum beranjak. Ia melangkah keluar meninggalkan sang pemilik rumah di dalam kamarnya. Ia senang karena kondisi Raden Kerta Kesuma berangsur membaik dan senang, juga tak sabar ingin berjumpa dengan kecintaannya, yakni ilmu.

Ahmad berjalan menyusuri selasar, ia melewati ruang demi ruang yang menyimpan sepi di tiap sudutnya. menapaki lantai berubin yang dingin dan ketus, nyaris selalu sinis kepada dirinya. Dan melewati barisan tembok kokoh yang berdiri di kanan kirinya. Dinding-dinding itu seolah memiliki relung di dalamnya, tempat dimana rahasia dan misteri terkubur dan terpendam rapat.
Bangunan itu, tidak hanya menjulang dari luar, tetapi juga ceruk hingga ke dalam.
Jika mendengar bunyi, maka akan terasa memantul.
Dan, tepat di depan sebuah ruangan, Ahmad dengan sangat jelas, mendengar sebuah suara, seperti bantal yang dipukul menggunakan rotan. Akibat bunyinya terdengar menggema, ia dengan cepat menghentikan langkahnya. Belum lagi hilang rasa kaget akibat mendengar suara menyerupai durian jatuh, sekarang disusul suara gagang pintu bergerak memutar.
gesekan benda logam itu, kini mencuri perhatiannya. Langkah mantapnya benar-benar mati. Terkejut, tidak siap, pasti itu alasannya kenapa mendadak ia berhenti.
Daun pintu di ruangan itu terus bergerak, lama-lama gerakannya semakin kasar dan sangar. Seperti... sesuatu sedang memaksa untuk keluar. Entah kenapa, Ahmad merasa sedikit terancam. Matanya tak lepas dari gagang pintu, ia memperhatikan dengan seksama, seolah menanti seseorang keluar dari dalam. Dalam kegamangannya, lagi-lagi ia dikejutkan dengan sebuah suara.

"Nak Ahmad, sedang apa di sini ?" Seseorang menyapa dari arah belakang.

"Oh paman, saya seperti mendengar sesuatu. Apa ada orang di dalam ?" Tanyanya dengan mimik wajah terkejut.

"Kamar ini kosong nak, tidak ada penghuninya. Kecuali dua buah lemari dan beberapa benda pusaka." Jawab Basir sedikit kebingungan.

"Memangnya nak Ahmad dengar suara apa ?" Sambung Basir penasaran.

"Ah... tidak ada paman, mungkin saya salah dengar." Ahmad tersenyum tawar, sembari menengok ke arah pintu.

***
Dari ruang guru, seorang petugas tampak menekan saklar berwarna putih yang terdapat di depan pintu masuk. Seketika bunyi bel sekolah merambat melalui udara, menjalar ke seluruh penjuru madrasah dan ditangkap oleh berpasang-pasang telinga manusia di sekitarnya.
Tak terkecuali Ahmad.
Demi mendengar suara bel berdering, ia pun bergegas merapikan buku-buku siswa, mengoreksinya dan memberi nilai. Buku yang telah selesai ia periksa, akan dikembalikan pada pemiliknya. Nama yang tertera di sampul buku ialah sebagai penanda. Ahmad melakukan tugas itu berulang-ulang sampai tumpukan buku-buku itu habis.

Seusai membaca do'a bersama, seisi kelas membubarkan diri. Tersisa satu dari sekian puluh murid di kelas itu. Awalnya Ahmad memaklumi, mengira anak itu sedang merapikan tasnya. Namun, hingga dirinya selesai dengan tas lusuh dan perlengkapan mengajarnya, anak itu tidak kunjung beranjak dari duduknya semula.

Ditatapnya pelan dan dalam, murid laki-laki itu masih bergeming. Jelas anak itu tidak sedang merapikan tasnya, sebuah buku tulis yang tadi dibagikan oleh Ahmad masih tergeletak di atas meja.

Ahmad sudah hampir bangkit dari tempat duduk, ketika suara ketukan terdengar dari arah pintu.

"Assalammu'alaikum pak, bapak ditunggu di ruang guru. Rapat akan segera di mulai." Seorang murid lelaki diutus oleh pak Mahfud untuk mengingatkannya.

"Baik, terimakasih." Ahmad pun berdiri. Tetapi... kakinya tiba-tiba lemas. Tubuhnya terasa ringan seperti kapas. Dilihatnya anak laki-laki yang sedari tadi duduk menekuri meja, raib.

Ahmad jadi ingat perkataan salah satu wali muridnya.
Menurutnya, bekas sekolah madrasah itu dulu adalah pemakaman massal, ada juga selentingan yang mengabarkan kalau tempat itu bekas pembantaian pada masa penjajahan. Yang lebih menyeramkan dan mengada-mengada tentunya, ada orang-orang yang mengira tempat itu adalah tempatnya jin beranak. Atau Kuntilanak beranak.

Ahmad bergegas menyudahi lamunannya. Dia berjalan sekuat tenaga meninggalkan kelas, dengan perasaan tak karuan.

Rapat di sekolah memakan waktu hampir dua jam. Selesai rapat, Ahmad tidak langsung pulang. Ia menghadap kepala sekolah.

"Pak, saya merasa sangat tertekan. Saya tidak tahu kenapa ?" Ahmad mencurahkan isi hatinya.

"Kau telah melangkah jauh. Jika ingin memutar dan berbalik arah, perjuanganmu akan sia-sia. Meski berat, kau harus kuat. Ingat Allah, jangan menyerah." Pak Mahfud mengatakannya dengan mantap.

"Tapi pak, saya takut dan bingung, dan saya sendiri bahkan tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa ?" Ahmad sudah tidak sanggup menahan beban itu sendiri. Ia membagi kesusahannya dengan pak Mahfud.

"Kau, masih ingat saranku ? Cobalah meminta bantuan pada Kyai Hasan Azhari. Datanglah ke pesantren. Kau bisa libur mengajar, selama urusanmu belum selesai."

Dua lelaki itu terdiam. Mereka memiliki kesamaan dalam berjuang mengamalkan ilmu agama.
Suasana di kampung tempat pak Mahfud tinggal, yang masih satu lokasi dengan berdirinya madrasah memang tidak jauh berbeda dengan kampung tempat Ahmad tinggal sekarang. Masih terbelakang, dan urusan agama juga masih banyak yang awam. Mereka sama-sama berjuang dan bekerja keras untuk mengangkat agama agar mendapatkan kedudukan yang tinggi. Tidak seperti saat ini, takhayul dan bau-bau mistis masih mendominasi.

Namun, pekerjaan itu bukan hanya tidak mudah tetapi juga mengalami banyak penolakan. Masyarakat desa masih berpegang teguh pada ajaran leluhurnya. Mereka tidak mau meninggalkan apa yang mereka sebut tradisi. Meski sering kali, tradisi ini menimbulkan permasalahan baik dari segi moral maupun material. Mereka tidak perduli. Seperti kemarin, sehabis melakukan acara adat dan menyerahkan sesajen pada sebatang pohon beringin tua nan keramat, tanpa diduga terjadi kericuhan. Warga yang datang membawa tampah berisi jajanan, beras, bunga setaman dan kopi hitam, diserang oleh orang tidak dikenal yang belakangan diketahui sebagai orang gila. Orang gila itu mengamuk, dan didorong oleh rasa lapar, orang gila itu pun mengambil makanan milik warga, gelas-gelas kopi pecah. Beras berhamburan, bunga setaman rusak terinjak-injak.

Pak Mahfud tentu menyayangkan perbuatan sia-sia orang kampung itu. Sia-sia, sebab beras yang seharusnya bisa dimasak dan dimakan malah ditebar di tanah, makanan lain pun banyak yang bernasib serupa. Mubazir. Itu yang selalu pak Mahfud tekankan dalam setiap ceramahnya di musholla tiap hari minggu di pengajian ibu-ibu desa.
Jika suasana sedang aman, tak ada gangguan orang gila itu, sesajen tetap terbuang percuma. Dibiarkan tergeletak di bawah pohon hingga berhari-hari sampai busuk.
Pak Mahfud sangat berapi-api jika berbicara perihal ini pada masyarakat. Namun, berjuang apalagi dalam hal ini berdakwah, selalu tidak mudah. Sudah ada cerita dan kisahnya sejak jaman Nabi. Bahwa semua yang mengabdikan hidupnya untuk agamanya pasti akan mendapati kesulitan.

Ahmad bersepeda seperti biasa melewati jalur yang sudah ia kenal tiap sentinya. Tiap lekuknya, tikungannya, pepohonan di kanan kirinya, bahkan letak bebatuan yang menancap di tanah, mungkin ada yang sudah menahun bercokol di jalanan yang sering Ahmad lalui itu, ia hafal dengan baik. Oleh karenanya, Ahmad juga mengingat sebuah rumah misterius di dekat perbatasan desa. Rumah itu masih sama. Ilalangnya terus tumbuh dan kian memanjang, memenuhi hampir seisi pekarangan, serta pintunya yang selamanya rapat, semakin menyembunyikan sisi kemisteriusannya. Hanya satu yang berbeda. Beberapa waktu lalu, terdapat penampakan seorang pria berpakaian serba hitam, dengan sorot menikam berdiri menatap ke arahnya. Tepat di ambang pintu yang kini kembali tertutup rapat.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang