Upaya pencarian terus dilakukan.
Hasil musyawarah pada pertemuan di balai desa, tengah malam tadi menghasilkan sebuah keputusan.
Warga dan perangkat desa sepakat, mereka akan melapor pada pihak yang berwajib. Orang-orang itu berpikir, sudah saatnya mereka melibatkan polisi. Anak yang hilang, bukan sembarang anak. Dia anak orang kaya, paling kaya di kampung ini. Dugaan mereka mengarah pada satu kemungkinan, yakni penculikan.***
Pagi sesudah ayam selesai dikasih makan, setelah semua emban merampungkan pekerjaannya di dapur, duduk dua orang lelaki muda di teras rumah Raden Kerta Kesuma. Seorang memakai peci kebesaran warna hitam, satunya berpakaian muslim sederhana dengan celana kain, juga warna kelam, senada dengan wajah keduanya yang tidak kalah muram.
"Kang, apa yang sebenarnya terjadi, kalian berdua baik-baik saja kan ?" Tanya seorang di antara kedua lelaki itu.
Dia melihat dalam-dalam kepada laki-laki berpeci hitam, berusaha mengeruk penyebab air kesejukan di muka itu berubah menjadi keruh dan lusuh.Laki-laki yang duduk di sebelahnya, sudah beberapa hari meninggalkan rumah bersama kakak kandungnya, Sri. Mereka pamit akan menginap di rumah bekas majikan ibunya. Dulu, ibunya yang bekerja di sini. Mengabdikan dirinya untuk keluarga ini. Hingga ajal menjemput dengan sangat tragis, juga di tempat ini. Oleh sebab itu, dia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa saudaranya. Entah kutukan apa yang disematkan pada rumah ini, yang jelas ia geram.
"Kita pulang saja kang, kakang bisa istirahat di rumah. Lihat keadaanmu sekarang..." Dia tidak melanjutkan perkataannya. Tidak sanggup. Kondisi saudaranya memang memprihatinkan. Setelah menahan kantuk semalaman, menimbun lelah seharian, memikul rasa bersalah yang menyulut penyesalan, badan dan jiwanya tampak kepayahan. Ia tahu, Ahmad_iparnya itu, bukanlah orang yang rapuh. Tetapi, demi melihat garis matanya yang menghitam, membentuk semacam kantung tepat di bawah netranya, ia paham. Lelaki soleh itu butuh istirahat.
Langkah milik seseorang tidak asing, datang menghampiri. Keduanya menoleh. Ahmad masih belum membuka suara, sedangkan Sugeng ingin sekali berdiri dan memeluk orang yang sebentar lagi muncul di depannya. Ia hafal bunyi pijakan tapak kaki itu, yang jalannya setengah diseret. Mirip mendiang ibunya, Nyai Darmo.
"Mbakyu..." Sugeng segera mendekat.
Kedatangannya memang sudah dinanti kakak perempuan satu-satunya itu. Mereka saling menguatkan dalam rengkuhan lengan yang berangkulan. Keduanya mengharu biru, Sri jelas mudah sekali mengeluarkan air mata. Tapi Sugeng, adiknya itu. Ia hampir setegar bapaknya. Kesedihan bukanlah sesuatu yang mudah ia perlihatkan. Bola matanya paling hanya memerah dan berair seolah kristal yang menari dalam kubangan. Tetapi, bisa dipastikan saat ini hatinya bersedih.
"Mana Retno, istrimu ?" Tanya Sri lemah. Ia sama kelelahan seperti suaminya dan tak berdaya. Tangannya mengelap tetes-tetes yang berjatuhan membasahi pipi.
"Dia di rumah mbakyu, anakku sedang sakit, jadi mereka tidak bisa ikut." Jawab adiknya itu dengan mata masih berkaca-kaca.
"Sakit apa, kenapa kau tidak bilang dari tadi ?" Ahmad mendadak berdiri mensejajari kedua kakak beradik itu.
"Jangan khawatir kakang, sakitnya hanya demam. Kemarin dia mandi di kali dengan ibunya, mungkin masuk angin." Sugeng mencoba menghilangkan rasa cemas dua pasutri itu. Ia tahu benar, Ahmad dan Sri sangat menyayangi dan mengasihi keponakan mereka, anak semata wayangnya.
Beberapa saat, mereka masih larut dalam suasana haru, sedih, sedikit senang karena bisa berjumpa meski dalam situasi begini. Setidaknya sampai seseorang memekik dari dalam. Atau lebih tepatnya menjerit. Keadaan seketika berubah. Ketegangan dan kepanikan kini mulai merajai.
Ketiganya bergegas masuk ke dalam, mencari sumber suara. Dari bunyi yang terserap gendang telinga, suara itu terdengar ada di dapur.
Tatkala mereka berhasil menginjakkan kaki di wilayah paling belakang rumah, tampak orang yang berteriak itu sudah ada di depan sumur timba. Seorang emban duduk lesu di sana. Ia menutup mulutnya dengan sepuluh jari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)
HorrorSebuah keluarga keturunan darah biru mulai mengalami masa-masa sulit. Ialah keluarga Raden Kerta Kesuma dan Ajeng Kamaratih. Kehidupannya yang bahagia, perlahan berubah menjadi duka dan nestapa. Orang-orang di sekelilingnya terkena bala yang tak jar...