Part 27

3.2K 213 19
                                    

Adzan isya' berkumandang di musholla tempat Ahmad mengajar ngaji. Anak-anak kampung bergembira apabila masuk waktu isya'. Tiada lain karena waktu mengaji telah usai.

Jama'ah mushola semakin hari semakin bertambah susut. Entah karena apa. Tapi Ahmad ingat, terakhir kali ia menjadi imam dengan jumlah ma'mum sebanyak tiga shaf adalah sebelum dirinya berangkat mengobati Raden Kerta Kesuma.
Saat ini, jumlah ma'mum hanya sebaris, dipenuhi oleh sesepuh-sesepuh kampung, itu pun dibantu anak kecil yang sedang mengaji. Jika jumlah anak-anak yang mengaji banyak, maka shaf sholat bisa jadi dua baris, seperti malam ini.

Di sela-sela takbirotul ikhrom, angin malam menelisik masuk ke dalam musholla melalui jendela dan pintu-pintu yang terbuka. Anak-anak yang berbaris di belakang celingukan memandang keluar. Mereka mulai tidak tenang dan saling bersikutan. Belum berhenti dari aksi kanak-kanaknya, para bocah kampung itu kembali diusik oleh bunyi daun yang berbisik. Angin semakin kencang, dan riuh pepohonan kian ramai, akan tetapi tidak ada yang berani membuat keributan. Anak-anak itu takut dimarahi bapak-bapak mereka, sebab keesokan harinya, jika ada yang berisik di musholla pada waktu sholat, akan jadi bahan perbincangan panas. Orang akan mengatai anak-anak itu dengan sebutan yang tidak-tidak.

"Anak nakal, anak tidak tahu diri dan tidak mengerti sopan santun".  Penghakiman yang semena-mena itu nantinya akan cepat sampai ke telinga orang tua mereka.

Dari sanalah asal mula biang kemarahan para orang tua.  Ahmad selaku imam dan guru ngajinya, sebenarnya tidak pernah marah. Justru ia memberitahu dengan halus. Tapi orang tua di kampung ini sangat bebal. Seolah-olah mereka sendiri lahir dan langsung tua bangka, tidak pernah jadi anak dan mengalami kehebohan masa kanak-kanak. 

Tenangnya anak-anak di dalam musholla rupanya tidak diikuti oleh suasana di luar. Angin berdatangan dari segala penjuru dan semakin ribut. Dedaunan kering pun menjadi sasaran amukannya. Beberapa helai berserak ke dalam melalui jendela. Ketika imam mulai bangkit dari sujud dan berdiri tegak memulai roka'at ke dua, patahan ranting kering keras terpelanting. Meski kaget, tidak ada yang berani bergerak kecuali anak-anak dengan gerakan sikut-menyikutnya dan kepala celingukan. Ranting itu jatuh tepat di belakang Ahmad, di tengah-tengah barisan para ma'mum_saat surah Al-Fatihah dibaca dengan amat merdu lengkap dengan tajwid yang fasih. Namun gemuruh di luar mengacaukan khidmatnya. Embusan udara meniup-niup sampai baju dan sarung berkibaran, tubuh-tubuh renta orang tua itu juga kena sasaran.
Pada bacaan surat pendek sesudah Al-fatihah, Ahmad membaca surah Al-Qoriah. Seolah ingin mencocokkan dengan suasana malam yang rusuh.
Surah Al-Qoriah bercerita tentang hari kiamat. Hari di mana manusia digambarkan seperti sosok anai-anai atau serangga yang beterbangan tertiup angin kencang.

Tepat ketika Ahmad membaca ayat ke 4, dua buah jendela di sebelah kanan dekat pintu depan menghantamkan diri ke tembok. Setelah dipermainkan angin hingga berayun beberapa kali. Anak-anak itu tidak bisa tidak ribut sekarang. Mereka panik dan ada yang berteriak histeris. Bapak-bapak sempat ragu untuk melanjutkan sholat. Namun, demi melihat Ahmad bergeming, mereka semakin merapatkan shaf.
Seolah belum merasa cukup hanya sampai situ, angin kembali meniup dengan kasar, mendorong pintu samping dekat tempat wudhu. Suasana di samping itu adalah tempat paling gelap. Hanya ada sebuah lampu cemplik yang tergantung. Hentakan pada badan pintu kayu tadi berhasil memadamkan cahayanya. Anak-anak yang sudah kadung takut, semakin ribut. Mata mereka meranggas memaksa melihat ke arah tergelap dari musholla itu. Sekelebat kain putih berkibaran di sana. Hanya kain. Tetapi, kain apa ? Kain siapa ? Sedangkan barisan sholat anak-anak perempuan ada di belakang. Tidak mungkin mukena mereka terbang kan ? Oh iya. Anak-anak perempuan itu... bersama dua orang ibu-ibu, sudah pindah ke dalam sejak roka'at pertama.
Mereka berhimpitan dengan teman-temannya. Menjerit-jerit.
Ibu-ibu masih melanjutkan sholat meski hati tidak tenang.

"Assalammu'alaikum warohmatullah 2x."

Angin masih bertiup-tiup sampai gerakan salam terakhir. Ahmad tidak  langsung berdiri melainkan berdzikir. Para ma'mum berkumpul jadi satu. Mereka beristighfar dan bertasbih berusaha menenangkan diri.
Beberapa menit kemudian, Ahmad mulai resah. Angin belum mau pergi. Ia pun berdiri dan maju ke dekat pintu depan lantas dengan lantang mengumandangkan adzan.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang