Hari itu Ahmad sangat senang, sebab ia bisa melihat bapaknya. Bahkan, ketika berpamitan, ia sempat memeluk tubuh renta itu, lama dan erat. Setelah itu, matanya menatap dalam pada netra tua milik bapaknya.
Setiap kali matanya melihat laki-laki itu, dirinya berkata dan berjanji dalam hati. Akan segera menemukan pelakunya, siapapun dia, yang telah membunuh ibu mertuanya.Sore hari lepas ashar, Basir dan Ahmad tiba di rumah Raden Kerta Kesuma. Sebelumnya, mereka menyempatkan diri menunaikan ibadah sholat ashar berjama'ah di mushola pinggir jalan raya besar itu. Jalan pantura. Mushola bercat hijau di sebelah kiri jalan, dua meter sebelum tikungan yang menjorok ke pasar.
Baru saja hendak memasuki area pekarangan, keduanya sudah di tunggu seseorang. Seolah kedatangan mereka sudah dinanti-nanti. Tampak dari raut wajah orang itu menggambarkan kepanikan. Basir segera mengetahuinya manakala orang lelaki itu yang tidak lain adalah teman sesama rewang berlarian menghampirinya. Wajah panik belingsatan dengan nafas tak beraturan membuncah di tiap kata, mengalir meski tersendat dari mulutnya yang tiba-tiba saja jadi gagap.
"Basir, cepat ! Cepat ! Kau- kau masuk ! Cepat ! Raden... sudah tidak sadarkan diri !" Rewang itu mencegat mereka di depan pintu gerbang yang menyerupai gapura.
Hanya sampai situ Basir dan Ahmad melangkah. Setelah motornya dipegangi rewang tadi, keduanya melompat dan dalam sekejap lenyap.Masuk ke kamar utama, Basir dan Ahmad mendapati pemandangan yang beberapa detik lalu beterbangan di kepalanya saat berlari dari latar di pekarangan menuju ke kamar utama. Raden Kerta Kesuma memang tengah pingsan. Matanya tertutup, mukanya pucat, di sisi kirinya Ajeng Kamaratih duduk bermandikan peluh dan air mata. Entah apa yang baru saja terjadi. Rambut hitam itu biasanya terikat rapi dalam gulungan sanggul khasnya, kini tampak kusut. Sebenarnya, Ajeng Kamaratih tidak terlalu menjadi sorotan pada kali pertama Ahmad masuk. Justru Ahmad melayangkan segenap perhatiannya pada sudut di sebelah kanan. Ia melihat Rindayu di sana. Anak perempuan itu menangis sejadi-jadinya dan tampak sama kusutnya dengan penampilan ibunya.
Sejak menginjakkan kaki di rumah ini, Ahmad belum pernah melihat Rindayu menangis.Berbagai prasangka mulai berjejalan di kepalanya. Ruang untuknya berpikir secara jernih semakin menyempit. Lelah, setelah perjalanan, lapar dan dahaga turut menguasai separuh alam pikirannya yang kian keruh.
Tadinya, ia berharap ada segelas air dari tangan istrinya atau mungkin dua gelas untuk menuntaskan dahaga dan biasanya, Sri juga membawa beberapa potong singkong goreng kesukaannya.
Oh iya. Sri, kemana istrinya itu ?
Kenapa disaat genting seperti ini Sri malah tidak muncul ?Suara tangis berdengung di kamar utama belum. Sedu yang paling panjang datang dari arah sudut paling kanan. Rindayu mengusap air matanya, tapi sedan itu tak mau berhenti. Bulirnya berebut keluar dan akhirnya berjatuhan di pelupuk membasahi pipi. Anak itu sekarang terlihat normal. Jika biasanya seorang anak menangis akan dianggap sedang bermasalah, maka Rindayu justru telah menjauh dari masalah. Anak itu kembali ke fitrahnya. Tentu saja sebagai seorang anak-anak pada umumnya yang kerap menangis dan sedih. Selama ini, ia dikenal dingin nyaris beku. Tak pernah tersirat kekhawatiran dan ketakutan dari pancaran matanya.
Langkah Ahmad pelan menghampiri Raden Kerta Kesuma. Ajeng Kamaratih menoleh dan bergegas bangun.
"Ahmad, tolong suamiku." Lirih saja kalimat yang diucapkannya. Ia masih belum bisa mengusir tangis, sehingga membuatnya terisak.
"Ada apa ndoro putri, apa yang terjadi ?" Ahmad mencoba mencari tahu pangkal masalah yang diperkirakan baru saja terjadi.
"Aku sedang berada di dapur... aku pergi hanya sebentar." Wanita itu menangis lagi, isaknya semakin deras. "Aku tidak tahu, tiba-tiba saja terdengar suara berteriak memanggilku."
"Pelan-pelan ndoro, ceritakan dengan perlahan." Ahmad berusaha menenangkan.
"Aku berlari dan mendapati suamiku sedang mencekik Rindayu. Tangannya mencengkram leher putriku dengan kuat sampai Rindayu sulit bernafas." Tangis yang tertahan akhirnya pecah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)
HorrorSebuah keluarga keturunan darah biru mulai mengalami masa-masa sulit. Ialah keluarga Raden Kerta Kesuma dan Ajeng Kamaratih. Kehidupannya yang bahagia, perlahan berubah menjadi duka dan nestapa. Orang-orang di sekelilingnya terkena bala yang tak jar...