Siang itu, sejenak aku tenggelam dalam kerasnya tawa anak-anak yang berkumpul di meja sebelah. Teringat, kami pernah tertawa selepas ini juga. Dulu.
Lama, aku masih tenggelam mendengar topik acak dan aneh yang mereka utarakan secara bergantian. Teringat lagi, kami juga sering berbincang yang tak penting hingga lupa waktu.
Dulu.Hening, mereka asyik dengan senyum masing-masing ketika isi kepala dipenuhi cara agar semua tidak selesai disana. Indah, ya? Menikmati kebersamaan ketika segala beban tak pernah menjadi beban, ketika candaan tak terasa tajam, ketika sulit bisa mudah dengan anggapan 'yasudahlah'.
Rindukah? Tentu. Kami, dulu sepolos itu. Seriang itu. Sekonyol itu. Sebahagia itu. Sesederhana itu memilih bahagia.
Kami, pernah serekat itu. Dulu. Sebelum dipaksa semesta untuk belajar dari perubahan. Untuk beranjak dari kursi nyaman dan mengambil jalan pilihan masing-masing yang rumit tak karuan.
Kami, kini berjarak. Diam di tempat, menunggu semesta memilih siapa yang akan pergi dan bertahan. Berpikir yang pergi bukan yang terbaik dan yang tinggal maka yang paling baik.
Sial, ternyata mereka seserius itu sekarang. Sedang aku masih berpegang teguh pada nyaman dalam berkawan, asal tak menyimpang dari jalan Tuhan.
- Shin
KAMU SEDANG MEMBACA
All The Things That Your Heart Never Heard
PoetrySuatu hari, aku harap kamu menemukan apa yang selalu aku tulis di tengah malam, atau pukul dua dini hari, kadang pukul empat sore di bis, seringnya sih saat ingat kamu yang tidak kenal waktu. Jika hari itu tiba maka kamu perlu tahu, sebagian di anta...