Teruntuk, Langit

39 3 1
                                    

Apa kabar? Semoga kabarmu lebih dari baik, ya. Karena aku sedang merasa tidak baik, dan itu sangat buruk. Tapi jangan khawatir, aku sedang berusaha untuk menjadi lebih baik.

Ngomong-ngomong, lama juga tak memandangmu. Lama sudut bibir ini tak terangkat menirukan senyummu. Lama jantung ini tidak bekerja ekstra karena berdetak kelewat cepat saat melihatmu lewat.

Aku menulis ini di perjalanan pulang, bis terjebak macet dan aku sudah lelah, rasanya ingin cepat-cepat menempel di tempat tidur. Kamu pasti juga begitu, kan? Langit sore ini sedang mendung, jalanan basah dan angin menyejukan sehabis hujan cukup mengundang kantuk, jalanan sumpek penuh robot beroda, dan aku yang duduk sendiri di samping jendela hanya bisa memandang langit.

Langit.

Tiba-tiba wajahmu yang sedang tersenyum entah karena apa dan pada siapa terukir di sana. Ini terdengar sangat murahan, tapi langit mengingatkanku padamu. Dan rindu yang kukubur entah sudah sedalam apa, muncul ke permukaan tanpa sanggup aku cegah. Bahagia yang kuciptakan dengan susah payah hari ini menguap entah kemana, aku terdiam, mengingatmu lebih lama sekarang tidak apa-apa, 'kan?

Saat aku tidak bisa melihatmu lebih lama, itu menyebalkan. Rindu yang terus aku bantah, gelisah yang selalu kucoba enyahkan, dan harap yang tak lagi ingin kuhadirkan. Itu menyiksa. Sungguh.

Meski doa selalu kupanjatkan, meski sabar selalu kubangun, meski ketenangan selalu kuhadirkan, namun takut masih mencoba mengintip dari balik ruang tersudut disini. Kucoba keluarkan rasa takut, namun ia sembunyi. Masih diam di sudut paling gelap hati ini. Menggumamkan doa yang terdengar tak masuk akal. Apa itu?
Berdoa agar tidak kehilanganmu? Tapi aku bahkan tidak punya hak apapun untuk menahanmu, kamu bahkan tidak pernah tinggal barang sedetikpun.

Bagaimana mungkin aku bisa meraih langit yang sebegitu tingginya? Awan terendah saja tak bisa kugapai, apalagi langit?

Aku terlalu terlena dengan impian-impian kosong, aku terlalu terpesona dengan apapun tentangmu, aku terlalu yakin akan ada pesawat yang membawaku menuju lebih dekat padamu, hingga aku lupa langit begitu jauh meski terasa dekat, aku terlalu bodoh untuk menyadari betapa tingginya dirimu. Semua orang melihatmu bahkan dari jarak sejauh ini, aku lupa bahwa mungkin aku bukan satu-satunya penyuka langit.

Seberapa sesak aku menahan, apa kamu tahu? Sungguh, perasaan ini membahagiakanku sekaligus menyiksaku. Aku benar-benar tidak menyukai hal ini. Mengharapkanmu yang tak tergapai olehku. Merasa memilikimu dalam mimpi. Aku sulit meraihmu. Bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak mungkin.

Aku terlalu lama memandang langit, hingga lupa melihat jalan yang kulewati. Yang kutahu, aku berakhir di tepi tebing. Ya memang, dari sini aku merasa lebih dekat denganmu. Aku bisa merasakan sentuhanmu melalui angin yang menyapa, namun aku lupa rasa nyaman dari ilusi ini mungkin membahayakanku. Aku terus memejamkan mata, enggan membuang bayangan-bayangan menenangkan di balik pelupuk mata. Aku menolak membuang harapan bahkan saat aku sadar mungkin tak ada harapan untuk diharapkan lagi. Adakah yang bisa kulakukan sekarang selain berusaha menyeret kaki ke belakang perlahan, dan mencari pegangan meski seadanya? Adakah yang bisa kulakukan selain memejamkan mata kuat-kuat untuk menghilangkan ketakutan akan kenyataan sebenarnya? Aku takut jatuh. Ke arahmu.

Dan lima senti, aku hampir jatuh lima senti lagi.

- Shin
Last year.

All The Things That Your Heart Never HeardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang