Kepada, Giant.

24 3 6
                                    

Apa kabar, giant?
Aku selalu ingin bertanya itu padamu. Entah harus memulai tulisan ini dari mana dan bagaimana. Namun jelas aku ingin menjadikan ini surat pertama dan terakhir yang aku tulis untukmu.

Kamu baik-baik saja, kan? Aku pernah berandai, bagaimana perasaanmu padaku sebenarnya sebelum ini? Sebelum aku tahu ada dia yang kamu miliki saat ini.

Kamu pernah membuatku takut setengah mati dengan mata itu. Aku bertahan sekian lama dengan keyakinan, tatapan itu bukan apa-apa. Tidak ada makna apapun. Namun ingatkah kamu? Ketika tiba-tiba kamu mengetuk pintu, bertanya kosongkah rumahku tanpa babibu, membuatku kaku tak tahu harus menolak atau menyambut sapaanmu.

Kamu tidak tahu, kan, bagaimana rasanya jadi aku saat itu? Ketika untuk pertama kalinya, aku menyadari ada yang menaruh perhatian lebih padaku. Kamu tidak tahu, kan, bagaimana rasanya jadi aku yang tidak tahu harus merespon sapaanmu bagaimana? Kamu tidak tahu, kan, betapa linglungnya aku saat itu, ketika hati tak ingin memberimu harapan sebab dia masih menjadi satu-satunya tempat harap terbesarku tertuju. Kamu tidak tahu, kan, bahwa setiap pengabaianku padamu adalah karena ingin menjaga perasaanmu?

Tahukah kamu, ada hari dimana aku juga pernah merindukan perhatianmu? Pernah merasa senang matamu masih seteduh itu dan takut kala kamu mengabaikanku.

Tahukah kamu, banyak hari dimana aku pernah berharap kamu mau berjuang lebih. Andai saja kamu mau lebih dari sekedar mengetuk pintu dan membuatku bingung dengan diammu. Andai kamu tahu aku memang sekaku itu, tapi kamu harus tahu, aku tidak beku.
Andai kamu mau lebih berusaha, adakah hari dimana aku dan kamu menjadi kita? Aku ingin tahu, seperti apa perasaanmu sebenarnya. Aku selalu ingin tahu, apa yang ada di pikiranmu tentangku yang sesungguhnya. Apa yang kamu harapkan dariku, pengandaian apa darimu terhadapku, aku ingin tahu. Namun bahkan hingga pergi tanpa pamitmu tiba, kamu masih saja enggan terbuka.

Tahukah kamu, hari-hari setelah aku tahu ada dia selain aku, kecewa terus memburuku kala melihatmu? Ingin marah rasanya, saat tahu alasanmu menyerah begitu saja padaku. Kamu bahkan tidak membuat kita cukup dekat untuk aku bisa merasa pantas untuk kecewa. Semudah itu bagimu mengetuk, lalu pergi tanpa pamit sebelum aku mampu mengucap balasan untuk sapaanmu. Melenyapkan setiap harap yang dengan salah pernah aku titipkan sebagian padamu.

Memang bukan salahmu, aku yang pernah berharap kamu akan tinggal. Aku yang pernah berharap kamu bisa menggantikan dia, untuk sekadar mengaburkan luka dan meramaikan kembali sepi yang dirasa.
Namun juga tak seharusnya saat itu kamu membuat spekulasi sendiri. Apa yang kamu lihat dulu, tidak seperti dugaanmu. Ingin kujelaskan siapa yang bersamaku saat itu, tapi jelas kamu tak butuh penjelasan apapun. Aku hanya terlambat tahu. Maaf.

Dan sekarang semua sudah selesai, kan? Lucu sekali, apa yang selesai ketika tidak ada yang pernah dimulai. Memang aku tak sepantas itu untuk diperjuangkan.

Tapi Giant, terimakasih. Untuk tenang yang pernah kamu berikan dari sebuah tatapan dan kehadiran. Aku akan selalu mendoakan kebaikan dan kebahagiaan untukmu.

Jika kamu sudah selesai dengan rasamu padaku, aku juga selesai dengan setiap harap dan andai padamu. Jangan marah, jangan membenciku atas setiap pengabaian dariku. Kamu harus tahu, kulakukan itu semata hanya untuk melindungi perasaanku, juga untuk menjaga perasaanmu.

Semoga kamu mengerti.

- Shin

All The Things That Your Heart Never HeardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang