Bab 3

117 29 21
                                    

Arda dan Ramdan menuju ke kantin yang tak jauh dari kelasnya. Mereka menyusuri koridor, dan tak sampai dua menit, mereka sudah sampai. Mereka mencari tempat duduk sebelum memesan makanan.

“Itu, ada tempat duduk kosong,” ucap Ramdan sambil menunjuk ke arah tempat yang kosong.

Arda hanya mengangguk dan keduanya langsung duduk di sana.

“Lo, mau pesan apa? Biar gue yang pesenin sekalian, Dan,” tawar Arda.

“Gue soto sama es jeruk aja. Thanks,”balas Ramdan kemudian.
Arda hanya mengangguk dan pergi memesan makanan. Tak berselang lama, Arda datang, membawa baki berisikan makanan dan minuman—yang Arda dan Ramdan pesan. Arda meletakkan baki di meja.

   Saking laparnya, mereka melahapnya dengan sigap. Tak berselang lama, keduanya ke kasir untuk membayar dan kembali ke kelas mereka.

Saat akan memasuki kelas, Arda tak sengaja menabrak seorang perempuan. Arda yang sadar menabrak perempuan itu langsung meminta maaf. “Sori, gue nggak sengaja,” ucap Arda tanpa menatap perempuan itu.

“Arda, kan, ya?” tanya perempuan itu yang ternyata Nana—perempuan yang menemukan dompet Arda.

Arda langsung menatap perempuan itu, “Oh… iya, Nana, ya, kalau nggak salah?”

Nana hanya mengangguk dan tersenyum. “Kalau jalan hati-hati, Da.”
Arda mengangguk-anggukukkan kepala tanda mengerti.

“Ruang kelas kamu mana, Na?” tanya Arda kemudian.

“Ruang sebelah. Kamu udah ikut UKM?”

“Belum.” Arda menggelengkan kepalanya lagi.

“Nanti kalau ada informasi tentang UKM, nanti aku kasih tahu, Da. Aku ke kelas dulu ya, Da,”pamit Nana.
  Ia melambaikan tangannya ke arah Arda, begitu pula dengan Arda.

Arda memasuki kelasnya, sebelum cowok itu sampai ke tempat duduknya, ia dipanggil oleh Ramdan. Arda berbalik arah dan meghampirinya.

“Udah dapat gebetan aja,” ledek Ramdan.

Arda mengernyit heran, ia tak paham apa yag dimaksudkan temannya.“maksud, lo?”

“Cewek tadi, gebetan lo?” Raut wajah Ramdan semakin serius, ia semakin kepo menjadi-jadi.

“Bukan. Kenal tadi pagi, dia yang nemuin dompet gue,” jelas Arda.

“CINTA DI BALIK DOMPET,” ujar Ramdan bermaksud meledek.

“Lo pikir judul FTV?” Arda mengangkat bahunya acuh. “lo kebanyakan nonton FTV,” lanjut Arda.

“Bodo amat, bro.” Ramdan merangkul bahu Arda dengan erat.

“Sesuka lo.” Arda tertawa terbahak-bahak.

“Kita kan udah berteman. Selow santai aja sama gue. Tapi, gue masih penasaran sama cewek yang tadi. Namanya siapa?”

“Nana,”jawab Arda singkat.

“Cocok,” ledek Ramdan.

Arda tak mehiraukan perkataan Ramdan. Baginya, yang selalu di hatinya hanya ada Aisyah. Ia akan bersikeras membuktikan ke orangtua Aisyah, bahwa ia pantas untuk gadis itu.

***
Arda merebahkan tubuhnya di kasur, ia menatap langit-langit kamar kosnya. Ia merenung sesaat, ia mulai berpikir bagaimana cara sukses di Jogja, sedangkan ia saja tak tahu sama sekali tempat-tempat di Jogja.

Lamunan Arda pecah ketika ada suara ketukan pintu. Ia bangkit dari tidurnya dan membuka gorder, dan ternyata yang mengetuk pintu Ibunya. Dengan sigap, Arda berlari dan membuka pintu.

“Ibu. Kok nggak bilang sama Arda,  kalau mau ke sini?” tanya Arda pada Ibunya.

“Ibu kangen sama kamu, Nak. Kamu beneran bakal betah di sini?” tanya Zumirah.

“Iya, Bu. Arda udah yakin. Arda mau mandiri, ibu nggak usah mengkhawatirkan Arda, Bu.”
  Arda menuntun ibunya untuk duduk di sofa yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

”Ya sudah. Ibu Cuma khawatir sama kamu. Baik-baik di sini ya, Nak.” Zumirah memeluk anaknya. Saat dipelukan ibunya, Arda merasa iba, karena di Jombang, ibunya hanya tinggal bersama adiknya yang masih duduk di kelas 6 SD. Sedangkan ayah Arda sudah meninggal empat tahun yang lalu karena sakit keras.

“Nggak apa-apa, Bu. Akmal kan juga di sini. Jadi, ibu nggak usah mengkhawatirkan Arda.”

Zumirah hanya mengangguk. Obrolan demi obrolan mereka berbincangkan—sampai waktu larut malam.

“Ibu tidur di kamar Arda aja, Arda nanti tidur sama Akmal, di kos sebelah,” ucap Arda pada ibunya.

Zumirah mengangguk dan menepuk bahu anaknya, lalu memasuki kamar Arda.

Arda keluar dari kos dan menuju ke kos-an Akmal.

Tok
Tok
Tok

Tidak ada jawaban dari dalam. Arda terus mengetuk pintu, sampai terdengar suara pintu terbuka.

“Ngapain, Da?” tanya Akmal sambil mengendikkan bahu.

“Malam ini, gue tidur sama lo, ya? Ibu gue datang ke sini,” ucap Arda meminta.

Akmal mengangguk dan mempersilahkan temannya masuk ke dalam kosnya dan memasuki kamar.

“Ibu lo, ke sini pakai apa?” tanya Akmal sambil mengunyah makanan.

“Gue lupa nanya.” Arda terkekeh.

Akmal menggelengkan kepalanya dan menabok bahu temannya itu.
“Wah… wah… , anak kurang ajar, lo, Da.” Lagi-lagi Akmal menggeleng tiada henti.

“Gue lupa. Lo jahat amat, masak gue,  nggak lo tawarin makan, gitu?” Arda mendecak sedikit sebal.
Arda langsung mengambil paksa makanan yang sedang dibawa oleh Akmal, Akmal kaget dan terjadilah perebutan makanan.

“Ngapain kita rebutan makanan?” Arda bingung sendiri.

Akmal mengendikkan bahunya. “Lo  yang mulai.”

“Tapi… “ Arda tak melanjutkan kata-katanya.

“Tapi, apa?” balas Akmal.

“Gue lapar, serius!” pekik Arda sambil melototkan matanya kea rah Akmal.

Akmal paham betul bagaimana sikap Arda, ia terkadang seperti anak kecil, kadang berpikir dewasa dan sikap yang paling tidak disukai Akmal adalah sikap Arda yang terlalu berambisi. Apalagi, kalau masalah Aisyah, Arda akan mengedepankan apapun, termasuk dirinya sendiri. Akmal juga pernah menasihati Arda untuk berhenti memperjuangkan Aisyah, tapi apa yang Akmal dapat? Arda malah marah, dan semenjak itu Akmal mulai berhenti mencampuri urusan Arda, kalau itu berurusan dengan “Aisyah”

“Lapar? Makan.” Akmal menuju ke dapur dan beberapa saat kemudian, ia datang membawa sepiring nasi dengan lauk ayam goring.

“Makan, nih,” gumam Akmal sambil menyodorkan piring itu ke Arda yang langsung diterima oleh Arda.

“Buat gue?” Akmal mengangguk cepat.

Arda langsung melahap makanan itu, tak sampai empat menit, makanan itu raib—masuk ke dalam perut Arda.

Thanks. Piringnya, lo, ya, yang taruh di dapur,” gumam Arda.

Akmal menjitak kepala Arda, enak saja, batinnya, yang makan siapa, yang harus menaruh piringnya siapa. Dengan wajah kesal, akhirnya Akmal mengalah demi sahabatnya sejak kecil itu. Tak berselang lama, Akmal kembali—masih dengan muka sebalnya.

Arda yang memperhatikan gelegat raut wajah temannya sedikit merasa bersalah. Ia menghampiri temannya itu dan merangkul bahunya, dengan nada mengejek Arda menjulurkan lidahnya.  Akmal yang kesal dengan Arda langsung mengambil bantal dan melemparkannya tepat di wajah Arda.

“Sialan, lo!”umpat Arda.
Akmal berbalik menjulurkan lidahnya.

“Lo, mulai duluan. Rasain!”

Mereka saling melempar cemoan dan ejekan. Tapi, itu hal biasa karena mereka sudah memahami karakter masing-masing.

Perjuangan untuk Arda(Terbit✅✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang