Bab 7

46 15 0
                                    

Hidup adalah sebuah pilihan, seperti dia yang lebih memilih yang lain.
   ***

Arda dan Nana sudah sampai di Malioboro. Mereka berjalan layaknya pasangan pada umumnya. Langkah mereka terhenti saat Arda melihat sebuah gantungan kunci yang dijual. Cowok itu memegang gantungan kunci berbentuk bunga dan berwarna merah.

"Gantungan kuncinya berapa, Bu?" tanya Arda pada  seorang penjual gantungan kunci.

"Lima ribu, Mas," jawabnya.

Arda mengangguk dan mengambil uang lima puluh ribuan di sakunya. "Saya ambil 10, Bu."

Ibu penjual gantungan kunci itu langsung mengambil beberapa gantungan kunci dan memasukkannya ke dalam kantong kresek. "Ini, Mas,"ucapnya. Arda menerima uluran penjual gantungan kunci tersebut.

"Di Jogja gantungan kuncinya murah-murah, "kan?" Nana memulai pembicaraan.

Arda mengangguk. "Makanya aku beli 10."

"Buat apa beli banyak-banyak?" tanya Nana lagi.

"Mau pamerin ke teman aku yang di Jombang."

"Buat apa dipamerin? Semua gantungan sama." Nana mulai heran dengan jawaban Arda yang menurutnya aneh.

"Harus. Gantungan ini istimewa karena belinya di Jogja. Jogja istimewa, 'kan?" Arda mengangkat sebelah alisnya.

Nana mengangguk. "Iya."

Keduanya langsung kembali berjalan-jalan tak jelas arah dan tujuan.

Satu jam berlalu, hari mulai petang. Nana mulai bosan dan dia ingin pulang. Tetapi beda dengan Arda yang masih betah di tempat itu.

"Pulang, yuk," ajak Nana.

"Nanti aja, Na. Bagus pemandangan kota Jogja kalau malam," Arda tengah fokus menatap patung pahlawan yang berada sebrang jalan.

"Kalau kamu masih mau di sini silakan, aku mau pulang," Nana melangkahkan kakinya meninggalkan Arda yang masih terfokus melihat patung sampai-sampai dia tak sadar kalau Nana sudah pergi.

Arda yang sadar Nana sudah tak ada celingak-celinguk.Dia mulai kebingungan mencari Nana ke sana kemari. Nihil. Nana sudah tak ada lagi.

Sementara itu, sampai perempatan jalan, Nana menghentikan langkahnya. Entah dia jadi memikirkan nasib Arda yang tak tahu daerah Jogja, Nana takut kalau Arda nyasar dan tak bisa pulang. Akhirnya Nana memutuskan kembali ke tempat itu, tapi Arda tak ada di sana.

"Arda ke mana, ya? Ini salahku kenapa ninggalin dia sendiri di sini." Nana menepuk jidatnya sendiri dan dia mulai bersalah.

Nana terus mencari cowok itu. Langkah demi langkah  dia telusuri dan pada akhirnya dia menemukan Arda sedang duduk di sebuah taman yang ada di Malioboro.

"Arda," panggil Nana.

Cowok itu menengok. "Nana?"

Nana kemudian menghampiri Arda dan duduk di sebelahnya.

"Maaf tadi aku ninggalin kamu, Da."

"Nggak apa."

"Kamu marah?"

Arda menggeleng. "Nggak, aku cuma takut nyasar aja, Na.

"Nggak nyasar, aku udah di sini. Ayo kita pulang." Nana menggeret tangan Arda dari Malioboro untuk mencari taksi yang tak jauh dari tempat mereka duduk.

           ****
"Gimana kemarin jalan-jalannya sama Arda, Na?" Mile mulai menghantui Nana dengan sejuta pertanyaan yang kepo.

"Nggak gimana-gimana," jawab Nana singkat.

"Kok sewot jawabnya?"

"Gimana nggak kesel, Arda kemarin aku ajak pulang malah nggak mau, malah lihatin patung pahlawan terus," celoteh Nana, masih dengan perasaan kesal.

"Maksudnya dia suruh lihatin kamu gitu?" Mile tertawa dengan maksud meledek Nana.

"Bukan gitu!" Nana menjawab dengan nada tinggi, kali ini dia benar-benar marah. Mile yang tahu Nana marah malah tambah meledeknya. "Nanti aku bilangin ke Arda supaya lihatin kamu, bukan patung."

"Apaan, Mil? Udah ledekinnya?"

Mile menggeleng. " Belum." Mile menjulurkan lidahnya.

Nana hanya diam, malas menanggapi. Toh, dia dengan Arda hanya sebatas teman, tak lebih.

Perjuangan untuk Arda(Terbit✅✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang