Angela 22

852 48 0
                                    

Rumah itu terlihat sepi. Tak terlihat seorang pun dari luar sini. Hanya terlihat hamparan rumput dan taman yang cukup luas. Hijaunya tamanan yang menghias sepanjang jalan menuju pintu rumah itu menjadi pemandangan yang menyejukkan.

Frans mendekat pada pagar besi yang terkunci. Di manakah Ela? tanya Frans dalam hati. Biasanya hari libur begini, dua hari libur bahkan, Vita dan Sofi bermain di luar. Tapi rumah itu kini sangat sepi. Seperti tak berpenghuni.

Ragu-ragu Frans menekan tombol bel. Dia berharap melihat Sofi tergopoh-gopoh membuka pagar ini. Tapi sayangnya, setelah menekan sampai tiga kali dan hampir menunggu selama lima belas menit, tak ada siapa pun yang datang. Mungkinkah Ela ke rumah ibunya yang terletak tidak jauh dari sini?

Frans belum menyerah. Dia tidak ingin buru-buru pergi dari rumah Ela. Dan penantiannya tidak sia-sia, karena sepuluh menit kemudian, mobil Ela tiba di depannya, otomatis pintu gerbang itu terbuka.

Ela jelas tahu siapa yang sedang berdiri di depan rumahnya. Frans. Lelaki yang pantang menyerah mengambil hatinya kembali. Jujur saja, kekaguman itu kian menggelitik hatinya atas kekeraskepalaan Frans untuk mencapai keinginannya.

Sofi turun terlebih dahulu dengan Vita. Sedangkan Vita segera berlari berbalik ketika melihat Frans.

“Om Frans!” teriak Vita dengan tawa bahagia. Frans menyambut tangannya dengan gembira pula. “Kok lama sih nggak kemari?”

“Halo, Vita. Iya, nih, Om banyak kerjaan.”

“Kok sekarang banyak kerjaan? Dulu enggak.”

Sofi sudah memasuki rumah sambil membawa barang belanjaan. Sedangkan Ela berdiri membeku melihat kedekatan Frans dan Vita.

“Emang kenapa sih? Vita kangen ya sama Om?”

Vita tersenyum semakin lebar. “Vita pengan main monopoli lagi sama Om.”

“Oke, yuk!” Frans menegakkan badan untuk menuntun Vita ketika dia menyadari bahwa Ela sedang memandanginya. “Sebentar ya, Vita masuk rumah dulu. Nanti Om nyusul.”

Vita mengangkat jempolnya kemudian berlari-lari ke dalam rumah sambil berteriak. “Mbak Sofi... ayam kecapku mana???”

Frans menghela napas panjang sebelum mendekati Ela. Pandangannya tak lepas sedikit pun dari wajah wanita itu. Sebuah deburan halus kini menyentakkan kesadarannya, bahwa tidak perlu diragukan lagi, dia mencintai wanita ini. Bukan sekedar ucapan. Tapi hatinya telah terpaut semakin dalam.

“Apa kabar, El?”

Ela memalingkan wajah dengan sorot mata yang terlihat sedikit gelisah. “Ada apa, Frans?”

“El, duduk yuk.” Frans menjulurkan tangannya dan meminta Ela duduk di kursi teras. Seperti terhipnotis, Ela menurut saja. Mereka duduk di kursi berbeda, terpisahkan oleh sebuah meja.

“Frans, hari libur bukan berarti aku santai. Jadi sebaiknya, pulanglah.”

“Vita pasti menungguku di dalam.”

“Jangan memperalat Vita untuk kepentinganmu sendiri.”

Frans mengangkat alis karena heran. “El, tidakkah kamu melihat bahwa aku dan Vita memang sangat akrab? Dan bagaimana kamu berpikir bahwa aku hanya memperalatnya untuk kembali mendekatimu?”

“Kalau begitu menjauhlah mulai sekarang. Jangan kamu buat Vita merasa dekat denganmu.”

“El, aku ingin bicara baik-baik denganmu. Mengapa menjadi seketus ini?”

“Maaf, Frans. Harus berapa kali aku mengingatkanmu bahwa kita tidak memiliki hubungan apa pun?”

“Kamu tahu kita saling menyukai.”

“Itu hanya perasaanmu saja.”

“Aku bisa melihatnya dari sikapmu. Jangan membohongiku.”

“Lalu apa? Lalu apa yang kamu inginkan setelah tahu kalau aku menyukaimu?”

“Kamu sedang menunggu putusan peradilan. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Chika. Kemudian kita bisa bersama.”

“Dan aku akan di cap sebagai janda yang merebut kekasih perempuan lain?”

Frans tercekat. Tidak mengira Ela akan berpikir sejauh itu. Apakah itu nanti yang akan jadi sebutan Ela? Perebut kekasih orang?

Oh, tidak! Itu tidak benar. Dia akan memutuskan Chika terlebih dahulu dan meminta pengertian gadis itu supaya mau ikhlas dengan keadaan yang telah terjadi. Chika gadis muda yang lincah. Usianya juga masih 20 tahun. Teman kampusnya pasti tidak sedikit yang lebih muda dan lebih keren dari Frans. Jadi bukan hal yang sulit untuk Chika melepaskan Frans.

Kemudian setelah mereka putus, baru Frans akan melamar Ela. Jadi Ela tidak bisa disebut merebut Frans dari Chika. Karena pada saat itu dia sudah menjadi lelaki single.

“Kamu tidak merebutku. Aku yang mengejarmu,” ucap Frans tegas, setegas tatapannya. “Dan aku akan melamarmu setelah hubunganku berakhir dengan Chika. Tidakkah kamu bisa memahaminya?”

“Frans, aku mohon. Aku tidak ingin terlibat masalah apa pun lagi. Masalahku tak pernah berhenti sejak aku berumur 18 tahun. Jadi aku minta kamu jangan menambah lagi deritaku.”

“Aku justru ingin membahagiakanmu. Aku ingin kamu tahu bahwa masih ada lelaki yang betul-betul tulus mencintaimu.”

“Dan lelaki itu adalah kamu?” tanya Ela sinis. “Jangan terlalu percaya diri, Frans.”

“Astagfirullah.” Frans menutup wajahnya sambil mendongak ke atas. Dia menarik napas berat berulang-ulang. Ternyata susah sekali meluluhkan hati Ela yang telah tersakiti. Wanita itu memang keras kepala. Begitu tegas.

Tapi Frans tahu, di dalam penampilan Ela yang tegas dan kuat itu, Ela adalah wanita yang rapuh. Wanita yang menyimpan sakit hati terlalu dalam. Frans ingin sekali menyentuh hati yang tersakiti itu.

Ela menutupi segala bentuk kekecewaan dan sakit hati dalam sikapnya yang keras. Dia tidak ingin dikasihani. Pantang baginya jika orang lain melihatnya dengan kesedihan. Semua harus terlihat baik-baik saja.

Tapi keliru kalau dia mengira Frans akan mundur teratur. Frans tetaplah Frans yang ingin menggapai kebahagiaan bersama wanita yang dicintainya. Jadi ketika dia sudah terdiam cukup lama, Frans mulai menenangkan diri dan berusaha bersikap biasa.

“Oke, Ela. Terserah apa pun yang kamu pikirkan tentangku. Sekarang waktunya aku bermain dengan Vita.” Frans melenggang masuk ke dalam rumah Ela tanpa menghiraukan Ela yang keheranan melihat perbuatannya.

***

Jangan lupa vote

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang