Pagi yang cerah dan damai menjadi suasana menenangkan ketika hati sedang galau. Ini cukup memberikan semangat yang beberapa hari ini tergerus oleh rasa kecewa terhadap seseorang yang diam-diam menyita perhatiannya.
Untuk pertama kalinya Ela tersenyum pahit menyadari betapa berlikunya hidupnya. Satu per satu kenangan melintas dalam benaknya. Pahit manis, suka duka, pedih nikmat, menjadi perpaduan yang menggetarkan. Semua yang pernah terjadi telah menjadikannya kuat dan tidak mudah menyerah.
Menyerah tidak akan membuat masalah berhenti. Hidupnya menuntutnya untuk terus berjalan mendaki sebuah puncak yang disebut kebahagiaan. Pegangan yang menjadi penuntunnya hanya Vita dan ibunya. Jadi apa pun yang terjadi kelak, dengan atau tanpa Frans, dia masih bisa berdiri tegak.
Ela berdiri sambil menghela napas ketika cahaya matahari kian meredup. Senja mulai muncul, terlihat dari kaca jendela ruangannya. Dia ingin bersantai sejenak. Menikmati secangkir cappucino setelah seharian bekerja sambil melihat hiruk pikuk kendaraan bermotor di lantai bawah, sepertinya cukup menyenangkan. Kemudian dia akan ke musholla, menunggu waktu sholat maghrib.
Namun sebelum dia berhasil membuka pintu ruangannya, Mutia lebih dulu membukanya.
“Ya?”
“Ada tamu, Bu.” Mutia mengatakannya dengan gelagat yang berbeda. Keningnya berkerut dan seperti merasa ada yang tidak beres.
“Siapa?”
“Aku,” ucap Chika di belakang tubuh Mutia. Gadis itu sedikit mengangkat wajahnya karena terhalangi oleh tubuh Mutia yang lebih tinggi darinya.
Seketika Ela kesulitan menutup mulutnya. Tentu saja dia terkejut. Tidak pernah menduga bahwa kekasih Frans akan datang menemuinya. Tapi dia berusaha bersikap senormal mungkin. Setenang mungkin. Menghadapi anak muda tidak bisa dengan kekerasan. Bisa-bisa dia kalah diserang dan dimaki-maki dengan bahasa gaul mereka.
Ela belum juga mampu mengatakan apa pun. Tadi dia mengangguk dan meminta Mutia keluar dengan lambaian tangannya. “Pulanglah, Tia.”
Ketika pintu sudah tertutup, Ela menjulurkan tangannya, tanda mempersilakan gadis itu duduk.
“Tidak perlu, aku hanya sebentar saja.” Chika seperti terpesona sesaat dengan penampilan Ela yang begitu anggun dan sikap tenang wanita itu. Ada sebuah aura dari dalam wajah Ela yang membuatnya menaruh penghargaan tinggi jika saja wanita ini tidak bermain api dengannya. Tapi kemudian sebuah kesadaran akan perebut kekasih orang kembali mencuat dan meninggikan tekanan darahnya lagi.
“Baik. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Ela kalem. Dia tahu apa yang akan dibicarakan gadis itu. Dia memang hanya sekali melihat Chika. Tapi, dia sudah menduga apa yang akan diminta gadis itu saat tidak mau dipersilakan duduk.
“Aku cuma mau bilang, aku adalah kekasih Kak Frans. Kami sudah berhubungan selama enam bulan, dan kami telah merencanakan acara pertunangan bulan ini juga. Jadi, aku minta kamu mengerti dan mengikhlaskan Kak Frans.”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya tidak memiliki hubungan apa pun dengan Frans.”
Terlihat Chika menyipitkan matanya, seperti tidak percaya dengan perkataan Ela. Sudah jelas dia tahu bahwa mereka bukan sekedar teman biasa. Dari pandangan mereka saja, Chika sudah bisa menyimpulkan. Apalagi ketika membaca obrolan mereka berdua di ponsel Frans ketika ayahnya menelepon Frans dan ponsel itu diberikan padanya.
Tak perlu menunggu waktu lama untuk menghapus kalimat obrolan mereka dan memblokir nomor Ela. Itu adalah langkah awal yang diambilnya untuk menjauhkan Frans dari janda muda yang berniat mengambil alih kekasihnya.
“Jangan menutupi lagi. Aku tahu kalian bermain api di belakangku.” Chika mulai dibakar marah. “Apa sebenarnya yang kamu cari dari Frans? Kamu sudah punya segalanya!”
“Jangan terlampau percaya dengan apa yang belum kamu ketahui dengan pasti.”
“Kamu pasti tahu rasanya dikhianati. Jadi aku minta jangan ganggu Frans lagi.”
“Saya tidak pernah mengganggunya. Kami hanya terikat kerja sama bisnis. Barangkali kamu saja yang merasa tidak dicintai sampai akhirnya kamu menuduh orang lain akan mengambil kekasihmu.”
Chika menelan ludahnya dengan sengit. Kalimat Ela telak membuatnya tersindir. Napasnya tiba-tiba naik turun. Bibirnya terkatup rapat. Matanya nyalang. Sejenak dia merasa begitu kerdil di depan wanita ini. Wanita yang tentunya untuk saat ini bukan saingannya dalam hal kesuksesan. Tapi setinggi apa pun martabat wanita itu, pasti akan jatuh juga ke jurang nista jika sampai merebut kekasih orang.
“Oke, aku pegang perkataanmu. Kamu tidak akan pernah mengambil Frans dariku.”
“Kalau pun pada akhirnya Frans memilihku, aku pastikan dia sudah mengakhiri hubungannya denganmu,” balas Ela penuh percaya diri. Ketegasan dan kemantapan selalu hadir jika dia berada di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah. Ada sebuah kebanggaan yang timbul dari sana. Bahwa dia tidak mudah disepelakan oleh orang lain. Apalagi hanya oleh gadis muda dan labil seperti Chika.
Kali ini Chika mengerutkan keningnya. Pernyataan itu sungguh membuatnya yakin bahwa ada bibit-bibit perselingkuhan pada diri wanita ini dengan Frans. Meskipun untuk saat ini dia percaya pada perkataan Ela, tapi dia tidak percaya pada Frans. Frans telah berani memutus hubungan asmara mereka. Sedangkan wanita ini tidak akan merendahkan diri dengan merebut kekasih orang. Karena seribu lelaki tampan dan mapan pasti bisa digaetnya. Lalu untuk apa hanya mengejar seorang manajer seperti Frans?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Angela (Terbit)
Fiksyen UmumPerjalanan cintanya tidak semulus perjalanan karirnya. Pada usia 25 tahun, suaminya pergi selama-lamanya, meninggalkannya dengan seorang gadis kecil permata hatinya. Pada usia 28 tahun, suami keduanya mengkhianatinya, meninggalkan penyesalan dan sis...