Angela 11

985 58 3
                                    

Pagi hari. Kembali kepada rutinitas yang terkadang terasa membosankan untuk memulainya. Dia baru bisa menikmati jika sudah berada di tengah-tengah pekerjaan. Namun pagi ini Vita seakan membuatnya semakin penat. Anak itu rewel tidak mau pergi sekolah.

“Vita capek, Ma. Vita nggak mau sekolah,” ucapnya berang sambil membawa guling kesayangannya ke depan televisi. Tanpa mendengar protes Ela, anak itu memutar televisi kemudian berteriak lagi. “Mbak Sofi... bikinkan susu!”

“Vita, ada apa lagi sih?” Ela mengikuti anaknya. “Semalam bukannya Mama sudah mengajakmu jalan-jalan? Tapi kenapa pagi-pagi malah rewel?”

“Vita masih ngantuk, Ma,” rengeknya manja tanpa dapat dirayu lagi.

Akhirnya, dari pada hari ini dimulai dengan mendumal, Ela membiarkan anaknya untuk membolos sekolah.

Lalu mulailah harinya yang padat. Pekerjaan menumpuk dengan segenap pertemuan bisnis yang melelahkan sekaligus mengasyikkan. Deretan angka yang harus dipantaunya juga membuatnya lupa akan waktu makan siang. Mungkin dia tetap akan lupa jika saja Kevin tidak memasuki ruangannya.

“Ada apa, Vin?” tanya Ela dengan pandangan mata yang tidak lepas dari monitornya.

“El, aku mau mengucap terima kasih karena kamu sudah menghandle pekerjaanku beberapa hari yang lalu.” Kevin duduk santai di sofa di depan meja Ela. “Bagaimana pertemuan kemarin dengan manajemen Mal Grandies?”

“Semua berjalan dengan lancar.” Ela masih saja cuek.

“Oh, ya? Lalu bagaimana jawaban mereka mengenai sample produk kita?”

“Belum ada jawaban. Mungkin besok.”

Kevin terdiam, tidak bertanya lagi. Dia mengawasi Ela yang masih sibuk dengan pekerjaannya sendiri tanpa menghiraukan kehadirannya. Kevin seperti memuaskan diri untuk memandangi seraut majah menawan yang menyita perhatiannya sejak beberapa tahun terakhir.

Dia tidak tahu kapan pastinya dia jatuh cinta pada wanita itu. Mungkin pada saat pertama kali Hera mengenalkannya. Saat itu Ela sedang menjalin kasih dengan Edo. Dan dia juga tidak dapat memahami perasaannya sendiri bagaimana mungkin dia jatuh cinta lagi padahal dia sudah beristri.

Memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menyadari bahwa yang dirasakannya bukanlah kepalsuan. Perubahan Ela dari penampilan yang terbuka hingga kemudian berubah tertutup, menimbulkan kesan tersendiri di hati Kevin. Apalagi jika setiap hari dia melihat wanita itu tanpa pendamping.

Hingga dia mendengar Ela menikah dengan lelaki yang pada akhirnya berkhianat. Kevin bukan hanya menyayangkan, namun juga kecewa. Dia ingin merengkuh wanita itu. Menyalurkan kenyamanan bahwa masih ada lelaki yang mencintainya dengan tulus.

Tapi Ela terlalu tinggi meletakkan martabatnya sebagai seorang wanita terhormat. Ela tidak akan merendahkan diri dengan menerima pujian dari lelaki yang tidak memiliki hubungan spesial apa pun dengan wanita itu. Kekukuhan wanita itulah yang membuat Kevin semakin mengagumi Ela.

Seperti pula hari ini, dia melihat Ela dengan wajah cantik dan begitu serius dengan monitor di depannya, adalah sesuatu yang unik di matanya. Ketertarikan itu dirasakannya semakin menguat. Dan seperti merasakan perubahan sikap Kevin, Ela mendongak.

“Ada lagi, Vin?”

“El, kamu cantik sekali,” gumamnya tulus tanpa takut akan respon Ela.

Seketika Ela membeku di tempat. Wajahnya mengeras tidak memercayai kalimat yang baru saja keluar dari bibir suami sahabatnya sendiri. Sebuah pujian yang tidak pantas diucapkan mengingat Ela telah memperingatkan lelaki itu untuk menjaga sikap dan melupakan rasa asing yang pernah lelaki itu ungkapkan dulu.

“Vin, jika kamu tidak ada perlu lagi,” Ela menarik napas berat dan panjang, “silakan kembali ke ruanganmu.”

Kevin berdiri dari duduknya kemudian mendekati Ela. Tak dihiraukannya ucapan Ela sebagai atasannya, yang seharusnya dia segera lakukan. Dia tidak sanggup menahan perasaannya terlalu lama. Hati ini minta dipuaskan. Terserah apa pun yang akan terjadi.

“Ela.”

Ela menelan ludah gelisah ketika menatap mata lelaki itu. Mata yang menyiratkan kepedihan namun juga penuh hasrat. Sejenak Ela tidak mampu membuka mulutnya untuk berkata-kata. Dia dengan perasaan tegang, menanti kalimat apa yang akan diucapkan Kevin.

“Ela, aku mencintaimu.”

Tepat sasaran. Tidak perlu menaiki kereta jika tempat yang akan ditempuh hanya sejauh setengah kilo meter.

Ela sungguh tak mampu merangkai kata yang kini tersendat di tenggorokannya. Matanya nyalang karena tidak menduga Kevin akan seberani itu mengungkapkan perasaannya. Tanpa embel-embel apa pun.

Oke, dia tidak akan menyalahkan posisinya sebagai sosok wanita muda dengan karir mapan dan kekurangan kasih sayang dari seorang lelaki. Siapa pun itu, pasti punya peluang untuk jatuh cinta padanya. Ela tidak dapat menghindari hal itu.

Tapi bisakah mereka menahannya jika mereka telah beristri? Bukankah tanpa berselingkuh sekali pun, yang namanya perasaan cinta tumbuh untuk wanita lain adalah sebuah pengkhianatan? Ela tidak bisa mentolerir.

“Kevin!” Ela berdiri dengan menutupi kepanikannya. “Tidak seharusnya kamu berkata cinta pada wanita yang bukan istrimu.”

Kevin tersenyum pahit. Dia menunduk untuk menutupi kebodohan yang mengganggu hati dan pikirannya. “Aku hanya ingin mengatakan apa yang kurasakan. Supaya kamu tahu. Dan aku rasa, selama ini kamu sudah tahu, Ela.”

Tentu saja Ela menyadarinya. Dia bukan wanita ingusan yang tidak mengerti akan gerak-gerik lelaki yang sedang mencuri perhatiannya. Tapi harga dirinya terlalu tinggi jika dibandingkan dengan menanggapi perhatian lelaki yang telah beristri. Apalagi kalau lelaki itu adalah bawahannya. Oh, ayolah! Terlepas dari kesamarataan status manusia di hadapan Allah, tetap saja Ela tidak sanggup menjalin kasih dengan bawahannya. Secara sosial itu akan menimbulkan tanda tanya besar.

“Lalu apa?” tanya Ela tidak sabar. “Lalu apa yang kamu harapkan setelah aku mengetahuinya?”

“Aku tidak mengharapkan apa pun, Ela. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tulus mencintaimu. Cukup itu saja.”

“Oke, Kevin. Sekarang aku sudah tahu. Aku minta kamu keluar sekarang.”

“Ela,” dahi Kevin berkerut karena kecewa, “tidak bisakah sedikit saja kamu mengerti perasaanku?”

“Dan tidak bisakah kamu sedikit saja mengerti perasaan istrimu?” tanya Ela membalik pertanyaan Kevin. Suatu hal konyol jika pengkhianatan harus dimaklumi oleh sebuah pengertian.

“Aku tidak mengajakmu berselingkuh. Mengapa kamu sesinis ini?”

“Karena seharusnya kamu menahan diri untuk tidak mengatakannya.” Ela mulai berdiri dengan perasaan campur aduk. “Sekarang apa yang akan terjadi dalam hubungan kita sebagai atasan dan bawahan? Bukankah pernyataan cintamu sangat mengganggu pekerjaan kita?”

Kevin masih tidak memercayai bahwa wanita yang dikenalnya demikian lembut itu bisa berubah sekejam ini. Menolak dengan tegas tanpa ada basa-basi sedikit pun. Sungguh, Kevin sakit hati.

Kevin tidak ingin berlama-lama dalam ruangan Ela. Semua pernyataan dan pertanyaan Ela bahwa dirinya memang tidak ada artinya sama sekali untuk wanita setinggi Ela. Bodoh sekali jatuh cinta pada wanita sekokoh itu. Sungguh tidak tahu diri!

Ela mendesah lega ketika melihat Kevin akhirnya berlalu dari hadapannya meski dengan raut muka ditekuk muram. Dia duduk menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Ada satu hal yang menggelitik kesadarannya bahwa kehadiran bayi yang bagi pasangan lain sangat membahagiakan, tidak selamanya akan menjadi momen paling berkesan bagi Kevin.

Kevin berani menyatakan cinta pada saat seharusnya cintanya tumbuh semakin dalam untuk istrinya, yang telah berjuang keras melahirkan buah hati mereka, setelah menanti selama tiga tahun.

Tapi kenyataannya, perasaan Kevin yang mungkin sudah tak dapat lagi ditahan, meluap begitu meresahkan hati Ela. Hingga Ela meyakinkan diri bahwa dia harus mengambil keputusan. Keputusan yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah tak terduga ini.

***

Gimana menurut kalian cerita ini?

Please vote dan komen ya.

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang