Tepat pukul satu siang, Ela dan Arfo, asisten manager marketing, menaiki eskalator yang akan membawanya ke lantai lima sebuah mal terbaru yang dibangun satu tahun yang lalu. Ela mengamati sekelilingnya. Dia melihat lantai pertama ditempati oleh supermarket yang kelihatannya sangat lengkap dengan sayur dan buah. Lantai kedua dipenuhi berbagai jenis pakaian. Lantai ketiga dipenuhi sepatu dan tas beserta aksesoris lain. Lantai keempat digunakan untuk food court dan arena bermain anak-anak. Dan lantai kelima digunakan untuk kantor.
Ela sudah tiba di lantai lima. Dia disambut oleh seorang pegawai yang kemudian membawanya bertemu dengan merchandiser manager. Dia tersenyum dan mengucap terima kasih ketika pegawai itu mempersilakan duduk.
Ruangan itu masih kosong. Sebuah ruangan yang tidak begitu luas namun cukup mewah dengan pemandangan kota yang terlihat dari kaca jendela besar di ujung sana. Furniturenya juga modern, minimalis. Ela merasa nyaman berada di sini.
Dia baru merasa tidak nyaman ketika melihat seseorang memasuki ruangan itu. Seseorang yang sejak dua hari yang lalu mengusik pikirannya. Frans.
Frans juga tampak terkejut melihat keberadaannya. Selama beberapa detik mereka hanya saling pandang diliputi keterkejutan. Tidak tahu harus berkata apa. Sampai ketika pegawai yang tadi membawakan minuman untuk Ela, Frans baru tersadar kemudian menyapa dengan sikap yang sangat formal.
Ela berusaha menenangkan debar jantungnya sendiri. Dia mengatur napasnya yang menderu karena kekagetan itu sukses membuatnya terlihat sedikit gugup. Beberapa kali Ela menarik napas panjang supaya bisa tenang.
Komunikasi antar mereka memang berlangsung mulus. Untung saja Arfo sangat luwes dalam berbicara dan mengenalkan produk mereka. membuat Ela bernapas lega karena dia merasa dibantu mengatasi kemelut ini.
Hingga saat mereka akan mengakhiri pertemuan ini dan berlanjut pada pertemuan yang akan datang jika pihak manajemen mal tertarik pada produknya, Frans menahan Ela untuk berlalu.
Sesaat Ela seperti ragu-ragu. Dia sudah berdiri di pintu. Pandangannya beradu dengan Frans. Dan entah ada apanya mata Frans sehingga membuat Ela dengan lemah meminta Arfo untuk pulang lebih dulu.
Dan di sinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran yang terletak bersebelahan dengan mal tersebut.
Frans mengamatinya sambil tersenyum lembut. Dia tidak bosan-bosannya mengagumi wanita ini. Melihat gaun yang dikenakan Ela saja sudah membuat hatinya menghangat. Bukan pakaian yang ribet. Apalagi kerudung yang diputar-putar. Ela selalu terlihat menggunakan gaun berpotongan sederhana dan jilbab segi empat yang disematkan di dada menggunakan bros. Cukup itu saja. Tapi entah mengapa di mata Frans, semua itu justru terlihat sangat cantik dan menawan. Apalagi melihat wajah yang putih mulus dengan make up tipis dan mata yang menatap sendu. Frans tidak bisa lagi melupakan sejak dua hari yang lalu.
Sungguh, Ela jengah sekali dipandang seperti itu. Dia lebih memilih untuk menunduk menikmati makanannya atau minumannya. Entah, wajahnya sudah berwarna apa. Tapi yang pasti dia merasa malu.
“Aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Ela.”
Ela hanya tersenyum tipis. Dia kembali menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya. Pura-pura cuek. Dia kemari untuk makan, bukan? Ya sudah makan saja.
“Oh ya, kemana Pak Kevin?” melihat respon Ela yang biasa-biasa saja, akhirnya Frans mengubah haluan.
“Istrinya melahirkan. Jadi aku yang menggantikan.”
“Hebat. Aku pikir hanya asisten Pak Kevin yang akan datang. Ternyata bersama ibu direktur.” Frans tersenyum ramah. Tapi Ela merasa sedikit terusik dengan sebutan ibu direktur. Padahal itu memang kenyataannya. Tapi dalam hal ini, ketika lawan bicaranya hanya seorang manajer, Ela tidak suka dipanggil ibu direktur.
“Aku masih tidak bisa memahami, bagaimana kamu bisa bersikap diam begini, sedangkan merintis bisnismu dari awal pasti membutuhkan komunikasi yang lancar.” Frans tidak kehabisan akal untuk menggelitik Ela supaya mau bicara lagi.
“Yang kita lakukan saat ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, Frans.”
“Oke, dengan begitu kamu bebas bersikap cuek begini?”
Ela memandang Frans dengan heran. “Kalau aku cuek, aku tidak akan merespon ajakan makan siangmu, Frans.”
“Bagaimana kabar Vita, El?” tanya Frans mengalihkan pembicaraan. Dia tadi hanya ingin mengetes Ela saja. Dan jawaban wanita itu masih sama saja seperti kemarin. Tidak ada kemajuan.
“Dia baik,” jawab Ela sedikit merasa aneh. Yah, semoga saja Frans memang betul-betul ingin tahu kabar Vita. Bukan hanya ingin pengalihan pembicaraan.
“Dia anak yang cerdas, El. Shera cerita banyak pada kami.”
Shera? Ternyata gadis itu bisa juga bercerita kepada keluarganya. Bukan hanya bermain ponsel saja.
“Dia memang sangat kritis. Selalu ingin tahu.”
“Di mana Papanya?” tanya Frans dengan gayanya yang sangat ringan. Dia bahkan menanyakannya sambil memotong dagingnya.
Justru yang terkejut adalah Ela. Dia tidak menyangka bahwa Frans akan berani mananyakannya. Bersama dengan Frans memang harus siap dengan segala macam pertanyaan yang mengejutkan.
“Papanya sudah meninggal,” jawab Ela terus terang. Dia tidak akan menutupi apapun soal Fedi. Karena Fedi adalah cinta pertamanya. Suami terbaik semasa hidupnya yang pernah dimiliki Ela.
Sebenarnya Frans tahu bahwa suami pertama Ela sudah meninggal. Yang dia ingin tahu adalah suami kedua yang diceritakan oleh ibunya, yang katanya pernikahan mereka sudah di ujung tanduk. Entah Bu Fatma mendengar gosip itu dari mana.
“Dan sekarang kamu masih sendiri?” pancing Frans pantang menyerah.
“Sebenarnya apa tujuanmu menanyakannya, Frans?” Ela mulai sebal. Dipandanginya Frans dengan tatapan pasti. Dia ingin Frans tahu bahwa dia sedang serius.
Frans dengan tenang menyesap minumannya kemudian duduk bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dia balas menatap Ela.
“Aku hanya ingin meyakinkan diri bahwa aku tidak mengundang wanita yang salah.”
“Maksudmu?” Ela mengerutkan keningnya.
“Ela, aku masih mengharap ada pertemuan selanjutnya denganmu. Jadi aku tidak ingin ada seseorang dibelakangmu menuduh kita berselingkuh.”
Berselingkuh?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Angela (Terbit)
General FictionPerjalanan cintanya tidak semulus perjalanan karirnya. Pada usia 25 tahun, suaminya pergi selama-lamanya, meninggalkannya dengan seorang gadis kecil permata hatinya. Pada usia 28 tahun, suami keduanya mengkhianatinya, meninggalkan penyesalan dan sis...