Kesempatan sekecil apa pun yang dimilikinya untuk menjemput Vita pulang sekolah, tidak akan diabaikannya begitu saja. Kebetulan siang ini pekerjaannya tidak terlalu padat. Lagi pula pikirannya juga sedang mengambang gara-gara pernyataan cinta Kevin. Jadi dia memutuskan untuk menjemput Vita pada pukul sebelas lebih tiga puluh menit.
Pagi tadi Vita tidak serewel beberapa hari yang lalu. Setelah membolos selama dua hari, hari ini anak itu berangkat begitu ceria. Ela sangat bahagia jika melihat Vita gembira saat berangkat sekolah. Itu berarti hatinya sedang tidak terbebani apa pun.
Ela tiba tepat pada saat Sofi berdiri di depan pagar sekolah. “Ada apa, Sof?” Ela buru-buru turun dari mobilnya. Dia takut terjadi apa-apa pada Vita.
“Tidak ada apa-apa, Bu. Saya cuma mau ke minimarket. Ada teman Vita yang ulang tahun sedangkan saya baru tahu gara-gara Vita libur kemarin. Jadi saya mau beli kado nih.”
Ela merogoh dompetnya dan memberikan uang kepada Sofi. “Jadi pulangnya telat?”
“Iya, Bu. Bu Ela balik saja. Saya nanti telepon taksi.”
“Oke, deh. Hati-hati ya, nanti langsung pulang.”
Ela mengembuskan napas lelah. Sebelum dia mengemudikan kembali mobilnya ke kantor, ponselnya berbunyi. Dari Frans. Entah untuk alasan apa yang mendorongnya hingga secepat mungkin menerima telepon itu. Dan sebelum dia memberi salam, Frans mendahuluinya. Ela menjawabnya dengan tenang.
“El, kamu mau ke mana?”
“Maksudmu?”
“Aku tadi di depan kantormu. Dan kulihat kamu buru-buru keluar.”
“Oh...” Ela masih bingung. “Sedang apa kamu di sana?”
“Mengajakmu makan siang.”
“Frans, bukankah kamu sudah berjanji tidak akan menemuiku sebelum aku resmi bercerai?”
“Aku tidak pernah mengatakannya, Ela.”
“Frans!”
Terdengar Frans tertawa tertahan di ujung sana. Lelaki itu memang terkesan menggoda. Entahlah, alih-alih ingin marah, Ela justru tersenyum sendiri. Belakangan dia kesal pada diri sendiri. Mengapa dia jadi mudah dipermainkan begini?
“Oke, Ela. Bagaimana kalau kita bernegosiasi mengenai harga yang kamu tawarkan, sekalian makan siang?”
Cerdik kamu, Frans! Batin Ela dengan senyum samar-samar. Jujur saja, dia was-was dengan perbuatannya akhir-akhir ini. Pergi dengan lelaki dalam statusnya yang masih istri orang. Tapi bagaimana pun ada ketertarikan sebagaimana tarik menarik antara kutub magnet utara dan selatan. Dengan alasan apa pun untuk menghindar, Ela tetap berada dalam lingkarannya.
“Di Margandi Cafe?”
Pada akhirnya, Ela melajukan mobilnya ke sebuah kafe yang ditentukan oleh Frans. Tak perlu bingung mencari di mana keberadaan Frans. Karena Frans menunggunya tepat di depan pintu masuk dan menyilakannya untuk berjalan lebih dulu.
“Mau makan apa, El?” tanya Frans dengan senyum ramah.
“Ayam teriyaki saja,” jawab Ela sambil memberikan daftar menu kepada pramusaji.
Ela melayangkan pandangan ke seluruh ruangan kafe. Cukup banyak pengunjungnya. Mungkin karena sekarang adalah jam makan siang. Kemudian pandangannya tertuju pada Frans, tepat pada saat Frans tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dari wajah Ela.
Ela tidak mau berpandangan terlalu lama. Ini sudah pasti membahayakan. Dia lebih banyak menunduk bermain ponsel ketika Frans tidak mengajaknya bicara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Angela (Terbit)
Fiction généralePerjalanan cintanya tidak semulus perjalanan karirnya. Pada usia 25 tahun, suaminya pergi selama-lamanya, meninggalkannya dengan seorang gadis kecil permata hatinya. Pada usia 28 tahun, suami keduanya mengkhianatinya, meninggalkan penyesalan dan sis...