Angela 21

882 50 0
                                    

Menjadi sesuatu yang mengganggu saat tidak semangat menyelesaikan pekerjaan karena masalah pribadi. Begitu juga yang sedang dirasakan Frans. Dia tidak tahu bagaimana caranya supaya Ela mau duduk berdua dan mendengarkan penjelasannya. Ini harus segera diselesaikan. Dia tidak mau kehilangan Ela. Apa pun caranya, dia akan berusaha mempertahankan wanita itu.

Akhirnya karena tidak tahan, Frans mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu kepada Ela.

Assalamualaikum, Ela.

Tidak ada balasan. Satu menit. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Padahal terlihat di sana Ela sedang online.

Ela, aku ingin minta maaf. Aku memang bersalah, aku tidak jujur padamu. Aku memang telah memiliki kekasih, sudah enam bulan. Tapi sungguh aku tidak mencintainya. Dia gadis yang dulu mendekatiku, dan saat itu aku pikir sudah waktunya aku memikirkan pernikahan. Karena itu aku menerimanya.

Terkirim. Terserah Ela mau memahaminya atau tidak. Yang terpenting dia sudah berani mengakui kesalahan dan jujur apa adanya.

Ela, percayalah. Hanya kamu yang kucintai. Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Chika. Sementara kamu menunggu surat ceraimu. Setelah itu aku akan menikahimu. Aku janji.

Di tempat yang berbeda, Ela memejamkan matanya rapat-rapat. Janji itu, janji yang sangat manis telah diucapkan oleh Frans. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa itu akan benar-benar terjadi? Ela tidak akan dengan mudah mempercayainya sebelum semuanya berakhir dengan sendirinya. Maka didiamkannya saja pesan itu. Hatinya masih begitu rapuh untuk dapat menyela.

Satu jam kemudian, Frans meyakini bahwa Ela tidak akan membalas pesannya. Dengan penyesalan yang besar, dia menghempaskan tubuhnya di kursi putarnya. Kemelut yang belum pernah dirasainya kini merajai hatinya.

Frans melihat jam tangannya. Dia ingat, biasanya jam makan siang begini, dia selalu menggoda Ela. Atau kalau perlu dia akan mencari akal untuk mengajak wanita itu makan siang. Tapi sekarang, Ela tidak mau diganggu lagi. Semua pesannya terkirim namun tak pernah dibalas.

Kamu tidak mempercayaiku, El? Tanya Frans dalam hati. Lalu Chika datang menambah kegundahannya.

“Hai, Kak. Makan siang yuk!” seperti tidak mau mengerti kehendak Frans, Chika pasang wajah tak berdosa.

“Chika, kenapa selalu datang kemari?” Frans tidak dapat menghilangkan nada kesal dalam suaranya.

“Loh, apa salahnya? Kakak jangan lupa kalau Papaku juga bekerja di sini.”

Frans mendengus kesal. Dia benci jika Chika membawa nama ayahnya dalam hubungan mereka. Itu terlalu kekanak-kanakan.

“Chika, aku sedang banyak masalah. Jadi makan sianglah sendiri.”

“Kak, sebenarnya apa sih yang terjadi padamu saat aku nggak ada? Kok kamu jadi mengesalkan begini? Kamu nggak menunjukkan sama sekali kalau kamu rindu padaku.”

Frans menghela napas panjang. “Maaf, Chika. Aku...”

Saat itu teleponnya berdering. Dari Pak Adi Wijaya, ayah Chika. Frans segera menerimanya, berbicara sebentar kemudian menyerahkannya kepada Chika.

“Ayahmu ingin bicara,” ucap Frans sambil berdiri kemudian meninggalkan Chika entah ke mana, mungkin ke toilet.

Chika menerima telepon itu dengan wajah berkerut. Kesalnya tidak bisa hilang karena kini dia tahu bahwa wanita yang ditemuinya kemarin sama dengan wanita yang ada di ponsel Shera.

Jadi, mereka sudah kenal lama saat aku tidak ada, ungkap Chika dalam hati.

Tapi keliru kalau Chika akan pasrah dengan sikap Frans yang menjengkelkan. Dia adalah gadis pejuang. Apa pun yang disukainya, dia harus memilikinya. Apa pun caranya.

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang