Angela 2

1.5K 83 0
                                    

Memandikan Vita menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan bagi Ela. Ketika dia dengan lembut memijat kepala Vita yang berbusa, sedangkan anak itu memainkan busa di tangannya kemudian ditiupkannya ke wajah ibunya. Tawanya berderai saat melihat ibunya menutup mata rapat-rapat.

Dia bahagia. Itu yang dirasakannya saat ini. Kebersamaan bersama Vita tidak bisa digantikan oleh hal apapun.

"Vita saaayaaang sama Mama," ucap Vita ketika segelas susu sudah sampai di tangannya. Dia duduk bersandar di tempat tidur sambil menonton televisi seperti yang sudah dimintanya sejak masih di pantai.

"Mama juga sayang sama Vita," balas Ela lalu mengusap rambut Vita yang panjang berwarna hitam kecokelatan.

Vita tersenyum lebar mendengarnya. Kemudian segera meneguk susu itu hingga membekas di kedua bibirnya. Dengan penuh kasih, Ela mengusapnya dengan tisu.

"Ma, kita jadi makan di bawah, kan?"

"Jadi, dong. Sekarang bilang, Ela mau makan apa?"

"Crispy fried chicken?"

"Emm..." Ela pura-pura berpikir.

"Ada, Ma?"

"Nanti Mama coba tanyakan. Yuk deh!" ajak Ela mengulurkan tangannya kemudian disambut gembira oleh Vita.

Mereka masih saja bercengkerama ketika berjalan menuju restoran. Sampai suara Bu Fatma kembali terdengar.

"Bu Ela, mau makan malam?" tak diduga, Bu Fatma baru saja keluar dari kamarnya.

"Iya, Bu," jawab Ela ramah.

"Mari makan dengan kami, Bu," ajak Pak Hengki, suami Bu Fatma, yang kemudian diiyakan oleh Bu Fatma.

"Terima kasih Bu, tapi saya..."

"Ayolah, Bu Ela. Kebetulan sekali loh kita bertemu di sini. Jadi kita bisa makan malam sekaligus ngobrol masalah kerja sama kita, kan?"

Ela tak sanggup menjawab. Sesungguhnya dia ingin makan malam berdua saja dengan Vita. Menyuapi dan melayani putrinya makan. Tapi ajakan Bu Fatma tidak bisa dia hindari. Dia tahu sekali mengapa Bu Fatma ngotot mengajaknya makan malam. Selain memang ingin lebih akrab, sudah jelas bahwa Bu Fatma tidak mau kehilangan rekan bisnis yang sangat potensial, seperti perusahaan konveksi milik Ela.

Pada akhirnya Ela mengiyakan, tentunya dengan berat hati. Untung saja Vita tidak rewel meski harus makan malam bersama orang lain. Ela hanya terganggu dengan kehadiran Frans yang sudah duduk dengan tenang menanti kedua orang tuanya. Di sebelah Frans ada seorang gadis yang mungkin saudara perempuannya.

Seperti yang Ela rasakan sore tadi, Frans mengamatinya lagi. Sorot matanya memang masih terlihat ramah dan lembut. Tidak nakal atau bahkan kurang ajar. Tapi tetap saja membuat Ela tidak tenang. Ela bahkan menangkap kekaguman di dalam mata Frans saat lelaki itu samar-samar melihat penampilannya. Sebuah long dress sederhana berwarna pink dengan jilbab motif bunga berwana pink pula. Dia tidak dapat menebak apa yang sedang Frans pikirkan. Tapi dia menyesal telah mengenakan gaun selembut ini.

"Silakan duduk, Bu Ela."

Seperti tadi, Bu Fatma antusias mengenalkannya pada Shera, adik Frans. Kemudian pandangannya beralih pada Frans yang sudah menyunggingkan senyum lembut padanya. Spontan Ela menunduk lalu mendudukkan Vita di sebelah lelaki itu. Otomatis Frans menarikkan kursinya.

"Halo, Cantik. Namamu siapa?" sapa Frans dengan suara lirih.

"Vita. Om siapa?"

"Panggil Om Frans," jawabnya begitu ramah. Lalu dia mendongakkan wajahnya. "Silakan duduk, Ela."

Ela sedikit terkesima dengan keramahan Frans. Begitu pula dengan sebutan namanya tanpa embel-embel 'bu'. Padahal ibu lelaki itu memanggilnya dengan sebutan 'bu'. Tapi Frans tidak mengikutinya. Sebenarnya itu lebih baik bagi Ela. Dia memang lebih nyaman dipanggil Ela saja. Apa lagi oleh lelaki seperti Frans. Lelaki yang pertama dilihatnya saja sudah sedikit menyita perhatiannya.

"Astagfirullah," gumam Ela amat sangat perlahan. Dia tidak boleh berpikir macam-macam. Pikiran buruk ini harus segera disingkirkannya dari kepalanya, supaya dia tidak terjerumus lagi dalam kebodohan. Sayangnya, Frans mendengar desahan suaranya.

"Ada apa, Ela?" tanya Frans juga dengan suara sangat perlahan. Saat itu ayah dan ibunya sedang membaca menu sehingga tidak memerhatikannya. Sedangkan Shera masih sibuk dengan ponselnya.

Ela menoleh terkejut. Wajahnya menghangat karena tidak menduga Frans akan mendengar desahannya dan tidak tahu pula harus menjawab apa. Dia begitu malu.

"Tidak apa-apa," jawabnya lemah kemudian menunduk.

Kemudian dia tidak bisa fokus dalam makan malam. Gerak-geriknya memang menunjukkan ketenangan yang sempurna. Tapi konsentrasinya terpecah antara obrolan yang diciptakan oleh Bu Fatma. Kegundahannya justru hadir dari seorang lelaki di sebelahnya, yang diyakininya pasti sedang melihatnya lagi dan lagi.

Beruntung sekali Vita makan dengan lahap sphagetti yang dipesannya karena fried chicken yang diincarnya tidak ditemukannya di restoran ini. Jadi Ela bisa makan dengan tenang, meski tak setenang biasanya.

***

Angela (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang